Mohon tunggu...
Luthfi
Luthfi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Margonda

Menulis untuk mengasah pikiran, imajinasi, dan bersenang-senang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dampak Saturasi Oligarki Media kepada Demokrasi di Indonesia

20 Juni 2020   14:43 Diperbarui: 20 Juni 2020   15:31 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Media telah menjadi bagian yang intergral bagi kehidupan masyarakat di abad ke-21, kita tidak dapat melewatkan hari tanpa mengonsumsi media. Bisa dibilang, masyarakat modern telah teradiksi dengan penggunaan media. Penyebab adiksi ini adalah sifat dasar manusia yang haus akan informasi, namun dibatasi oleh indera-indera yang dimiliki. Misalnya kita tidak bisa mendengar atau melihat orang yang terlalu jauh dari kita, sehingga kita membutuhkan alat bantu. Media hadir sebagai perpanjangan dari indra-indra yang kita miliki, hal ini sesuai dengan pendapat McLuhan (1994), "Media adalah perluasan dari alat indra manusia, sementara telepon adalah perpanjangan telinga, dan televisi adalah perpanjangan mata." Karena alasan inilah kita amat bergantung dengan media, namun ketergantungan ini dapat menjadi bumerang bagi kita jika tak disikapi dengan hati-hati. Hal ini disebabkan karena media telah dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh par oligarki untuk mempertahankan status quo dan mencapai  kepentingannya.

Alasan mengapa oligarki-oligarki menggunakan media untuk mencapai kepentingannya dikarenakan media dapat memengaruhi persepsi masyarakat. Caranya adalah dengan memengaruhi fungsi kognitif manusia, yaitu proses berpikir yang terlibat dalam proses persepsi, memahami, menafsirkan, dan mengingat materi yang kita lihat. Stimulus yang kita proses secara kognitif dalam bentuk bahasa (tertulis atau lisan) atau gambar (gambar diam atau gambar bergerak), atau kombinasi keduanya. Misalnya sepert seperti berita di televisi atau film, dimana rangsangan bahasa dan gambar terjadi bersamaan (Harris & Sandborn, 2014). Dengan demikian, oligarki dapat mencapai tujuannya dengan cara memanipulasi masyarakat.

Di Indonesia sendiri, masalah oligarki bukanlah sesuatu yang dapat disepelekan. Meski pasca reformasi 1998 Indonesia mengalami banyak perubahan, terutama di sektor kebebasan informasi dan berpendapat, oligarki adalah satu-satunya hal yang tidak berubah. Hal ini dikarenakan, setelah reformasi bergulir, terjadi konsentrasi kepemilikan media yang berpusat pada beberapa orang dan membentuk oligarki media (Utomo, 2020). Dalam bukunya, Ross Tapsell (2017) mencatat ada delapan oligarki media yang punya peran besar dalam memengaruhi opini publik di Indonesia. Oligarki-oligarki tersebut adalah, TransCorp (dimiliki oleh Chairul Tanjung), VisiMedia Asia (dimiliki oleh Aburizal Bakrie), Media Televisi Indonesia (dimiliki oleh Surya Paloh), MNC (dimiliki oleh Hary Tanoesoedibyo), Jawa Pos Group (dimiliki oleh Dahlan Iskan), SCMA Group (Eddy Sariatmadja), Berita Satu (dimiliki oleh James Riady), dan Kompas Group (dimiliki oleh Jacob Oetama). Oligarki ini bisa ada karena mereka dibesarkan oleh sistem politik orde baru serta regulasi yang longgar dan memaklumi pemusatan kepemilikan media (Tapsell, 2017).

Oligarki media ini seakan menjadi duri dalam daging bagi kebebasan informasi di Indonesia, hal ini dikarenakan para pemilik media memanfaatkan media yang mereka miliki untuk memanipulasi masyarakat agar kepentingan mereka langgeng. Contoh oligarki media dalam memanfaatkan media yang mereka punya demi kepentingan politik, adalah pada masa kampanye pemilihan umum 2019. Harian Media Indonesia misalnya, lebih banyak memberitakan berita positif mengenai kerja-kerja pemerintahan Joko Widodo. Media Indonesia selama masa kampanye juga lebih fokus pada berita-berita mengenai survei-survei yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan hal-hal positif menyangkut pasangan tersebut Roy Thaniago (2019). Jika kita cermati, pemilik dari Media Indonesia adalah Surya Paloh, salah satu oligarki yang juga merangkap sebagai Ketua Partai Nasdem. Pada saat pemilu 2019, Partai Nasdem berada dalam koalisi pendukung pemerintah. Tidak mengejutkan memang, namun dalam situasi semacam itu, masyarakat menjadi kesulitan untuk menemukan berita-berita yang berjarak dan independen dari berbagai kelompok kepentingan termasuk pemerintah (Utomo, 2020). Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa afiliasi politik para pemilik media punya peran penting menentukan bagaimana fokus dan narasi berita dikeluarkan oleh media yang bersangkutan.

Masalah konsentrasi dan kepemilikan media di Indonesia tidak terhenti pada kepemilikan televisi, pada 2011 misalnya, sembilan kelompok bisnis menguasai setengah dari media cetak di Indonesia (Tapsell, 2015). Konsentrasi kepemilikan media ini disebabkan oleh konvergensi platform, atau pengintegrasian media. Oligarki yang sebelumnya hanya memiliki satu platform (seperti cetak, radio, atau televisi) sekarang membangun oligopoli multi-platform yang besar dan kuat. Misalnya, Visimedia Asia (dimiliki oleh Aburizal Bakrie) juga mencakup stasiun televisi ANTV (berita dan hiburan) dan TVOne (berita nasional 24 jam); satu stasiun berita televisi berbayar digital, Bloomberg Indonesia (berita 24 jam); situs berita online, VivaNews; dan dua surat kabar harian (Tapsell, 2015).

Saturasi media oleh para oligarki ini menyebabkan masalah-masalah tersendiri. Mulai dari penyensoran di ruang redaksi banyak surat kabar Indonesia, sampai terganggunya demokrasi. Masalah penyensoran misalnya, jurnalis takut bahwa jika mereka menulis secara kritis tentang berita yang melibatkan kepentingan pemiliknya, mereka akan ditegur, dipindahkan ke meja redaksi malam, atau, secara ekstrim kasus, dipecat (Tapsell, 2015). Misalnya, setelah Aburizal Bakrie membeli Surabaya Post pada 2008, wartawan di sana tidak dapat melaporkan secara kritis perannya dalam bencana lumpur Lapindo dan kurangnya kompensasi kepada para korban sehingga jurnalis-jurnalis disana dipecat.  Sementara masalah yang muncul di sisi demokrasi tidak lepas dari peran media sebagai "the fourth estate", yang merujuk kepada pers sebagai kekuatan tambahan dalam masyarakat. Istilah the fourth estate merujuk pada pernyataan filsuf politik Edmund Burke, menurutnya, pers adalah elemen paling penting dalam masyarakat, hal ini dikarenakan pers mengawasi tiga lembaga negara yang ada (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) (Crichton, dkk, n.d.).

Selain itu, peran pers dalam demokrasi adalah sebagai watchdog jika ada lembaga yang menyalahgunakan kekuasaan, memberikan jalan ekspresi bagi warga negara biasa, dan menjaga nilai-nilai sentral demokrasi. Dalam pandangan ini, pers membantu menentukan dan membingkai isu-isu yang penting bagi publik dan dengan demikian melindungi kepentingan publik. Meski begitu, media kontemporer di Indonesia alih-alih menjadi penjaga dan "the fourth estate" bagi demokrasi, media malah berubah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Menurut Thaufan Arifuddin (2017), alasan mengapa media di Indonesia kesulitan untuk menjalankan tugasnya untuk menjadi "the fourth estate" disebabkan karena hubungan timbal-balik antara oligarki sebagai pemilik modal dan media. Di satu sisi media membutuhkan uang untuk beroperasi, dan di sisi lain para oligarki membutuhkan sebuah outlet untuk memuluskan kepentingan mereka. Hubungan antara oligarki dan media telah diprediksi oleh Niklas Luhmann, menurutnya usaha media adalah "risky bussiness" karena media harus memiliki modal (sumber daya) untuk membiayai operasi pengumpulan informasi (Luhmann, 2000). Maka untuk bertahan hidup, media modern mau tidak mau harus memiliki sumber modal yang tetap dan salah satu sumbernya adalah aktor-aktor politik.

Dengan demikian, media yang menjalankan fungsi pers juga tidak terlepas dari motif ekonomi. Mereka butuh uang untuk terus melakukan operasinya, mulai dari mencari berita, mengolahnya, dan memberitakannya kepada masyarakat. Sehingga disinilah oligarki-oligarki yang memiliki banyak modal masuk, sehingga media rentan untuk dikendalikan dan mengurangi fungsinya sebagai watchdog. Meski begitu, sekarang kita dapat mengamati kemunculan media-media yang tidak berafiliasi dengan oligarki-oligarki yang ada. Mereka mencoba untuk menampilkan jurnalisme yang independen, yang mendanai operasinya lewat donasi-donasi yang diberikan oleh masyarakat, sehingga mereka merasa memiliki kewajiban untuk memberikan berita yang berkualitas. Karena media-media yang berafiliasi dengan oligarki tidak merasa memiliki kewajiban apapun kepada masyarakat, selama majikan mereka senang, maka mereka akan bertahan.

Referensi

Arifuddin, M. T. (2017). Why Political Parties Colonize the Media in Indonesia: An Exploration of Mediatization. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 20(1), 16. 

Crichton, D., Christel, B., Shidham, A., Valderrama, A., & Karmel, J. (n.d.). Journalism in The Digital Age. Retrieved May 12, 2020, from stanford.edu website: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun