Mohon tunggu...
Luthfi
Luthfi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Margonda

Menulis untuk mengasah pikiran, imajinasi, dan bersenang-senang

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Politics for Dummies"

16 Agustus 2018   22:10 Diperbarui: 5 September 2018   18:56 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2019 adalah tahun yang menarik untuk diikuti, karena pada tahun tersebut kita akan menyelenggarakan pemilu untuk memilih kepala negara dan anggota legislatif. Tahun politik ini penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena memang hidup-matinya suatu negara tergantung dari kekuatan politiknya. Meskipun begitu, masih ada saja orang yang tak acuh pada keadaan politik di negerinya, entah karena memang tidak mau tahu atau tidak tahu apa itu politik. Ada juga yang mencoba mendalami politik namun "tersesat" dalam perjalanan untuk memahaminya. Sehingga penulis tergerak untuk memberikan sedikit "pencerahan" pada khalayak umum yang ingin atau baru bersentuhan dengan politik, sehingga dalam tahun politik ini semua bisa berpikir jernih dalam menentukan pilihan demi kemakmuran bangsa.

Kata politik sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu politikos yang berarti pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat. Dalam bahasa mudahnya politik adalah segala hal yang bersangkutan dengan kekuasaan, kepentingan, maupun perebutan diantara keduanya. Ciri-ciri dari politik (kekuasaan) ialah adanya kepentingan, superordinasi (atasan) dan subordinasi (bawahan), yang memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai. Dengan pengertian tersebut, maka dapat dikatakan dalam kehidupan sosial kita sudah berpolitik.  Kita ambil contoh, dalam usaha untuk mendapatkan cinta seseorang, maka akan ada usaha-usaha untuk mendapatkannya seperti melobi teman terdekat dari sang pujaan hati, menjegal langkah saingan hati dan "menjual" kata serta diri dengan segala yang baik-baik. Kesemuanya itu demi meraih kepentingan diri sendiri, yaitu mendapatkan pujaan hati.

Selain itu, dalam ruang lingkup kelompok sosial terkecil berupa keluarga, juga tidak luput dari politik. Karena di dalam keluarga  ada seorang pemimpin -- biasanya seorang ayah - yang memiliki "kekuasaan" untuk mengatur  jalannya kehidupan keluarga dan memiliki anggota yang harus mematuhi "kekuasaan" tersebut, jika ada anggota keluarga yang menentang "kekuasaan" tersebut maka akan di anggap sebagai pembangkang. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa manusia itu adalah makhluk politik (homo politicus), karena itu tidak ada alasan untuk tidak berpolitik, karena dalam kehidupan sehari-hari manusia sudah berpolitik. Namun rupanya tidak sedikit orang yang gagal memahami arti dari politik, karena banyak orang beranggapan politik hanyalah tentang pemerintahan dan membuat kebijakan. Memang benar dalam politik membahas pula tentang kedua hal tersebut, tetapi jika kita menganggap itulah arti sebenarnya dari politik maka anda telah sukses memandang politik dengan kacamata kuda.

Sehingga tidak heran politik identitas - terutama agama - masih menjual di negeri ini, karena memang manusia cenderung untuk melihat kesaamaan antara dirinya dengan orang lain. Akibatnya kompetensi seseorang tidak lebih penting daripada latar identitasnya. Yang menyedihkan ialah, masyarakat Indonesia rupanya sulit - jika tidak boleh dikatakan gagal - untuk memahami arti politik sebagaimana yang dituliskan diatas. Karena itu masyarakat Indonesia relatif mudah untuk "dibodohi" dengan kepentingan politik yang berbalut agama, karena sebagai aspek primordial dari seseorang ditambah dengan kegagalan memahami arti politik maka tidak heran gerakan seperti 212 bisa sukses dilaksanakan.

Jika pembaca berpikir, "gerakan 212 adalah gerakan umat, tanpa ada kepentingan politik." Bagaimanapun anda berargumen, gerakan tersebut telah melengserkan penguasa dan menaikkan penguasa baru, sesuai dengan deskripsi diatas bukan? Ditambah lagi gerakan 212 yang telah bertransformasi menjadi PA 212 sekarang asyik menikmati politik praktis. Menyedihkan memang, agama yang pada esensinya merupakan "alat" bagi kita untuk "berkomunikasi" dengan tuhan dijadikan sebagai landasan untuk meraih kekuasaan - dan pastinya pengaruh. Jika kita berbicara sebuah dunia utopis, maka agama dan politik akan membawa kesejahteraan, namun patut diingat juga bahwa banyak penjahat beragama dan ada juga yang bekerja sebagai politikus. Sehingga tidak boleh ditampik bahwa sebuah dunia utopis adalah, "jauh panggang dari api." Namun pada akhirnya yang terpenting ialah sebuah persatuan, boleh saja pembaca menganggap teokrasi sebagai solusi politik, dan saya selaku penulis mendukung sekuler (realisme politik) sebagai solusi politik. Tapi bukan berarti kita harus perang urat membela sebuah pandangan politik, jadikanlah perbedaan pandangan sebagai sarana untuk melatih pikiran dan instropeksi diri.

Oleh:

Luthfi Ferdi S.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun