Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya mengumumkan kebijakan tarif baru tentang resiprocal tariiffs untuk semua impor ke AS pada Rabu (2/4) waktu setempat atau Kamis (3/4) pagi waktu Indonesia. Reciprocal Tariffs adalah kebijakan tarif timbal balik. Kebijakan ini merujuk pada kondisi suatu negara yang menetapkan tarif impor terhadap barang dari negara lain dengan tingkat yang sama seperti tarif yang dikenakan oleh negara tersebut pada barang ekspornya. Terusik untuk memberikan tanggapan dan komentar, sesuai dengan peminatan bidang regional development. Singkatnya, terpikir tentang bagaimana dampak pengenaan reciprocal tarif 32% untuk Indonesia tersebut terhadap kinerja pembangunan daerah. Berikut analisisnya
Pengenaan tarif masuk sebesar 32% oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap produk-produk Indonesia, menimbulkan tantangan serius bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam konteks pembangunan daerah. Tarif ini dapat mengguncang fondasi ekonomi daerah yang mengandalkan ekspor, mengakibatkan berkurangnya pendapatan dan lapangan kerja, serta mengganggu stabilitas sosial di komunitas-komunitas lokal. Sebagian besar daerah di Indonesia, terutama yang bergantung pada ekspor komoditas, kemungkinan besar akan mengalami penurunan pendapatan yang signifikan. Sebagai contoh, Sumatera Utara, penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia, mengandalkan ekspor kelapa sawit untuk menopang pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2023), sektor kelapa sawit menyumbang lebih dari 30% PDRB provinsi ini. Namun, dengan kenaikan tarif, produk kelapa sawit Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar internasional, berpotensi menurunkan volume ekspor hingga 20% dalam tahun pertama, menurut Kementerian Pertanian (2024). Penurunan ini berdampak langsung pada pendapatan petani dan, lebih luas lagi, pada pendapatan daerah, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kualitas layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan.
Di daerah lain, seperti Jawa Barat yang terkenal sebagai pusat industri tekstil, situasi serupa dapat terlihat. Ekspor pakaian jadi ke Amerika Serikat, yang mencapai nilai signifikan selama ini, kini terancam menurun. Penurunan ini tentu akan berdampak negatif terhadap pendapatan para pelaku industri lokal, termasuk pengusaha kecil dan pekerja yang bergantung pada sektor ini. Banyak kalangan ahli memperkirakan bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan angka pengangguran di sektor industri, yang mana pekerja wanita mendominasi (Kementerian Perindustrian, 2023). Penurunan pendapatan akan memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat, yang sudah tertekan akibat dampak pandemi COVID-19.
Dari segi tenaga kerja, pengenaan tarif ini dapat berpotensi menciptakan gelombang pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor-sektor yang merugi. Di industri kelapa sawit, setiap penurunan ekspor akan berujung pada berkurangnya kebutuhan tenaga kerja, yang selama ini berada dalam posisi rentan. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja (2024), sepertiga dari tenaga kerja di Sumatera Utara tergantung pada sektor pertanian dan perkebunan. Jika sektor ini mengalami penurunan, banyak yang akan kehilangan pekerjaan ketika perusahaan-perusahaan mengurangi produksi atau bahkan gulung tikar. Situasi di sektor tekstil di Jawa Barat pun tak kalah memprihatinkan. Kebijakan tarif baru ini kemungkinan besar meningkatkan risiko PHK, yang akan memperburuk kondisi tenaga kerja yang sudah rentan. Data dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa pengangguran yang meningkat pada tahun-tahun sebelumnya (2022-2023), akibat kondisi ekonomi yang tidak kondusif, telah menyebabkan terjadinya protes sosial yang meresahkan di berbagai daerah.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan pihak swasta dan komunitas lokal dalam merumuskan strategi mitigasi. Pertama, diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah yang wajib dilakukan. Upaya untuk menjangkau pasar alternatif di negara-negara lain, seperti Eropa dan Asia, dapat membantu mengurangi ketergantungan pada satu pasar, sehingga mengurangi risiko yang dihadapi. Mengedukasi pelaku usaha mengenai peluang ekspor baru harus menjadi prioritas untuk menggenjot pendapatan daerah. Kedua, peningkatan kualitas dan daya saing produk harus menjadi fokus utama. Dengan memberikan akses teknologi dan pelatihan bagi petani dan pekerja, pemerintah dapat memastikan bahwa produk yang dihasilkan memenuhi standar internasional meskipun dihadapkan pada tekanan pasar. Program-program dukungan untuk UMKM juga perlu diperkuat untuk meningkatkan daya saing. Ketiga, melakukan diplomasi perdagangan yang aktif agar terjadi dialog konstruktif dengan pemerintah Amerika Serikat. Kebijakan yang lebih proaktif dalam merundingkan pengurangan tarif untuk produk unggulan Indonesia akan sangat membantu memperbaiki situasi yang ada.
Pengenaan tarif masuk sebesar 32% oleh AS memiliki implikasi serius terhadap pembangunan daerah, yang terkait erat dengan pendapatan dan lapangan kerja. Daerah daerah yang mengandalkan komoditi ekspor ke Amerika berisiko mengalami penurunan signifikan dalam pendapatan dan peningkatan tingkat pengangguran, yang dapat berujung pada ketidakstabilan sosial. Oleh karena itu, langkah strategis yang meliputi diversifikasi pasar, peningkatan daya saing, dan diplomasi perdagangan harus segera diambil untuk mengimbangi dampak kebijakan ini dan menjaga pertumbuhan ekonomi daerah yang berkelanjutan. Semoga tidak menjadi GELAP.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI