Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Analisis

EFISIENSI YANG TIDAK EFISIEN, Analisis Kebijakan Pemotongan Anggaran

12 Februari 2025   20:45 Diperbarui: 12 Februari 2025   20:45 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/bfCKKYnTNisy34HK6

Kebijakan efisiensi anggaran merupakan upaya yang penting untuk memastikan keberlanjutan fiskal suatu negara, terutama di tengah kondisi perekonomian yang penuh tantangan. Namun, kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2025 justru menunjukkan paradoks yang cukup mencolok: meskipun tujuan efisiensi adalah untuk menciptakan pengelolaan anggaran yang lebih baik, kebijakan ini malah mengarah pada ketidakefisienan sistemik. Dalam implementasinya, kebijakan ini berisiko merusak fondasi pelayanan publik dan keadilan sosial yang telah dibangun selama ini. Dengan target penghematan yang mencapai Rp306,7 triliun, pemerintah mengklaim bahwa kebijakan ini akan "menghilangkan lemak" dalam belanja negara. Namun, kenyataannya kebijakan ini lebih mirip dengan pemotongan pada "otot" yang vital bagi ekonomi negara, sehingga mengancam stabilitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Salah satu aspek yang menjadi perhatian utama adalah beban utang negara yang terus meningkat. Alokasi pembayaran bunga utang pada APBN 2025 mencapai Rp552,9 triliun, yang merupakan angka tertinggi dalam sejarah dan mencakup sekitar 35,8% dari belanja non-kementerian/lembaga. Meskipun demikian, kebijakan efisiensi anggaran ini tidak menyentuh akar masalah fiskal, yaitu pembengkakan utang negara. Lebih dari itu, upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan menaikkan tarif PPN menjadi 12% gagal memenuhi target yang diharapkan. Tarif efektif PPN yang tercatat hanya 11% untuk barang non-mewah membuat negara kehilangan potensi pendapatan hingga Rp75,9 triliun. Ironisnya, defisit fiskal yang terjadi justru ditutupi dengan pemotongan anggaran pada sektor-sektor produktif, bukan melalui reformasi struktural seperti pengetatan tax ratio yang stagnan di level 10%.

Selain itu, pola pemotongan anggaran yang diterapkan oleh pemerintah terkesan tidak terencana dengan baik dan tidak adil. Sektor-sektor strategis yang seharusnya menjadi prioritas, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur pokok, justru menjadi korban utama kebijakan ini. Kementerian Kesehatan, misalnya, kehilangan anggaran sebesar Rp19 triliun, yang berpotensi mencabut subsidi BPJS untuk 20 juta penerima bantuan iuran. Di sektor pendidikan, anggaran untuk riset juga dipangkas drastis, dengan hanya 7% dari 240.000 dosen yang dapat mengakses dana penelitian pada 2024, dan jumlah ini diprediksi akan semakin turun. Pemotongan anggaran yang tajam juga berdampak pada sektor mitigasi bencana, di mana anggaran untuk BMKG dipotong hingga 71%, yang mengurangi akurasi prediksi cuaca dan peringatan dini tsunami dari 90% menjadi hanya 60%. Padahal, Indonesia adalah negara yang rawan bencana dengan lebih dari 600 alat sensor gempa yang sudah usang.

Di sisi lain, program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi masalah gizi buruk di Indonesia, justru mendapat prioritas yang sangat besar dengan alokasi anggaran yang mencapai Rp171 triliun---naik 140% dari rencana awal. Namun, program ini dinilai tidak transparan dan rentan terhadap penyalahgunaan, terutama dalam pengelolaannya yang tidak memiliki mekanisme distribusi yang jelas. Sementara itu, sektor-sektor strategis lain seperti riset TBC, perlindungan HAM (Komnas HAM), dan layanan saksi (LPSK) justru mengalami pemotongan anggaran yang signifikan.

Kebijakan pemotongan anggaran yang tidak proporsional dan tidak selektif ini memperburuk ketidakadilan dalam distribusi anggaran negara. Selain itu, langkah memperbesar struktur birokrasi dengan menambah jumlah kementerian dan staf khusus tanpa dasar yang jelas memperlebar celah inefisiensi dalam birokrasi. Penambahan jumlah kementerian yang berpotensi memperburuk birokrasi tidak diimbangi dengan pengurangan anggaran untuk kegiatan operasional lembaga teknis seperti BMKG dan RRI/TVRI, yang justru mengarah pada pemutusan hubungan kerja massal bagi pekerja kontrak.

Akibat dari kebijakan ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 diperkirakan akan melambat menjadi 4,7%, yang merupakan angka terendah dalam satu dekade. Daya beli masyarakat tertekan oleh kenaikan iuran BPJS dan pencabutan subsidi, sementara pemutusan hubungan kerja di sektor konstruksi dan media memperburuk tingkat pengangguran. Bahkan, program MBG yang diandalkan sebagai solusi utama justru mendapat kritik karena tidak memiliki mekanisme distribusi yang jelas dan rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik praktis.

Untuk mengatasi dilema kebijakan ini, pemerintah perlu melakukan revisi dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut:

  1. Restrukturisasi Utang dan Optimalisasi Penerimaan Pajak: Pemerintah harus menurunkan beban bunga utang melalui negosiasi ulang skema pembayaran dan menutup celah penghindaran pajak oleh korporasi. Peningkatan tax ratio harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar menaikkan tarif PPN yang tidak efektif.
  2. Realisasi Program MBG dengan Transparansi: Anggaran untuk MBG harus dialokasikan melalui mekanisme kartu elektronik berbasis data terpadu (DTKS) untuk meminimalkan kebocoran dan meningkatkan efektivitas program. Evaluasi program secara berkala harus dilakukan untuk memastikan tujuan program tercapai.
  3. Memangkas Birokrasi, Bukan Pelayanan Publik: Penyederhanaan struktur kementerian dan penghapusan jabatan staf khusus yang tidak perlu harus dilakukan. Anggaran hasil efisiensi birokrasi harus dialihkan ke sektor-sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, dan mitigasi bencana.
  4. Skema Pemotongan Berbasis Dampak: Pemotongan anggaran harus lebih berfokus pada pengurangan belanja tidak produktif, seperti proyek mercusuar dan perjalanan dinas mewah, ketimbang belanja modal yang mendukung pembangunan jangka panjang.
  5. Proteksi Sektor Strategis: Sektor-sektor dengan efek multiplier tinggi, seperti infrastruktur dasar, riset, dan perlindungan HAM, harus dikecualikan dari pemotongan anggaran. Pemerintah juga perlu melibatkan lembaga independen, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan masyarakat sipil, dalam audit anggaran untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

Efisiensi anggaran bukan hanya tentang pemotongan angka dalam spreadsheet, tetapi bagaimana memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Kebijakan efisiensi yang saat ini diterapkan, tanpa perencanaan yang matang dan memperhatikan prioritas pembangunan, justru dapat menciptakan ketidakadilan sosial dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah terus bersikeras dengan model penghematan yang tidak selektif ini, yang akan terjadi bukan efisiensi, melainkan pembusukan sistemik yang merugikan generasi mendatang. Pemerintah harus segera mengembalikan kebijakan fiskalnya ke jalur yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan, sehingga dapat benar-benar memberikan manfaat bagi pembangunan Indonesia secara menyeluruh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun