Mohon tunggu...
Luthfi Kenoya
Luthfi Kenoya Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat Senja dan Kopi

S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia | "A little Learning is dangerous thing" | find me at Instagram, Line, Twitter, Facebook, Linkedln by ID: @Luthfikenoya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lorong Gelap Universitas, Produsen Terbesar bagi Budak-budak Zaman

2 Agustus 2018   14:12 Diperbarui: 2 Agustus 2018   14:21 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"kamu sudah sesat!" hardik seorang guru ketika saya berada di sebuah pesantren, kata-kata itu terlontar ditengah-tengah forum belajar tatkala pertanyaan saya tentang keagamaan dinilai terlalu jauh. Penjelasan beliau sederhana, perihal agama cukup pelajari ilmu agama sedangkan memadukan aspek keagamaan (terutama metafisik) dengan ilmu duniawi (istilah yang merujuk pada dikotomi ilmu agama dan non agama) adalah salah.  Cerita berikutnya, "Adek kuliah di ilmu politik mau jadi pejabat yah?" tanya teman ibu. Sontak saya tersenyum, bukan mengamini tapi justru tidak habis pikir dengan cara pandang seperti itu.

Tulisan ini juga hadir pasca tragedi bentrok siswa antar sekolah di Tangerang Selatan yang menghadirkan kecemasan dunia pendidikan, terbesit dalam benak saya "bagaimana seorang guru mengajar? Apa yang diajarkan?" serta pertanyaan lain yang umum dilontarkan. Tapi biasanya, tanpa menafikan exception, berujung pada kritik sumber daya guru atau sistem pendidikan. Dalam hal ini saya ingin mencoba mengurai catatan peribadi saya ketika di pesantren dan terutama saat menjadi mahasiswa Ilmu Politik di sebuah universitas Islam di kota besar sambil melakukan comperative inquiry dengan kampus lain serta ide besar (grand design) perguruan tinggi.

Pertama-tama kita perlu membedakan dengan seksama antara mitos dengan kenyataan dalam studi ini, karena keduanya sama-sama memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap pertimbangan kesadaran seseorang. Misalnya universitas dipandang sebagai lembaga netral yang terhormat, jelas ini bukan kenyataan tapi mitos. Universitas dianggap semata-mata melakukan kegiatan belajar-mengajar dan melakukan penelitian untuk kepentingan masyarakat. 

Namun pada waktu yang bersamaan, peniliti dalam hal ini mahasiswa menjadikan pengetahuan sebagai komoditi, yakni sesuatu yang bisa lepas dari pembuatnya dan bisa diperjual-belikan. Dengan dalih profesionalitas, peneliti ini tidak lagi mempersoalkan gambaran keseluruhan aktivitas maupun bentuk hasil karyanya. Hal itu kemudian turut menyisakan serangkaian pertanyaan, kenapa bisa demikian? Memangnya kenapa klo belajar dengan orientasi materi? Bukankah memang itu kebutuhan manusia? Lantas bagaimana seharusnya? Atau memangnya kenapa klo tetap begini? Dst.

Mengenai universitas yang mulai terkena dampak industrialisasi dan teknikalisasi, maksud saya karena didalamnya terdapat komponen birokrasi, spesialisasi, dan pembagian kerja. Banyak akademisi yang kemudian memusatkan perhatiannya pada asumsi-asumsi eksplisit serta pada investasi sistematik, kuantitatif dan kumulatif dan pada akhirnya membuat penelitian terburu-buru mengejar objektivitas dan disaat yang sama justru menjaga jarak dari peran aktif masyarakat yang sesungguhnya. 

Dalam kalimat lain, mereka mengembangkan ilmu semata-mata untuk ilmu, bukan untuk kepentingan masyarakat atau untuk lebih memahaminya secara bijaksana. Bahkan universitas modern terkesan (tentu bukan bermaksud generalisasi), melalui kurikulumnya, membentuk mahasiswa yang terbiasa dengan persoalan rutin atau berulang serta melupakan hal-hal subtantif, kita bisa perhatikan telaah ilmiah yang dilakukan mahasiswa (jurusan politik dalam hal ini) berfokus pada kegiatan pemerintah dengan teknik serta metodologi yang justru cenderung memanipulasi kenyataan demi efisiensi penelitian, sebut saja karena alasan gelar dan orientasi kerja.

Selain karena keterpukauannya terhadap ilmu-ilmu eksakta (contoh: mahasiswa di dorong untuk menghitung-hitung suara pemilu seperti halnya ekonom menghitung uang), universitas juga dihadapkan dengan para dosen dan sarjana yang menjadi praktisi dan pejabat pemerintah yang pada gilirannya menjadikan universitas selain sebagai bergainning politic juga sebagai lahan komersil.

Pada tahun 1968, American Political Science Assosiation, secara mengejutkan menyebut bahwa soal etika ternyata tidak dianggap penting dalam profesi ilmu politik. Respon mulai muncul pasca pengungkapan hal itu, terutama dari para mahasiswa Berkeley, "kami mendapat kesan menjijikan bahwa untuk menjadi seorang ilmuwan politik kami harus mencampakan perasaan-perasaaan manusiawi dan membutakan diri terhadap keterlibatan politik. Jika memang demikian, maka profesi itu dilingkupi masalah etis yang luar biasa. Celakanya kebanyakan professor kami tidak melihatnya sebagai masalah sama sekali. Akhirnya yang ada adalah malapetaka etis".

Uraian diatas memang tidak sistematis, karena keterbatasan pembaca yang biasanya enggan panjang lebar. Tapi intinya adalah, sebelum melihat persoalan sekolah pada umumnya penulis hendak menguji kesatuan teoritis dan pendidik yakni dengan deduksi terhadap apa yang terjadi di Universitas. Dalam hal ini universitas dianggap sebagai pendidika tertinggi yang seringkali mendapat porsi besar dalam peranan kehidupan. 

Namun nyatanya, persegeseran modernisasi, industrialisasi, dan teknikalisasi membuat dapat besar yang juga terhadap paradigm ilmu pengetahuan yang semakin scientific dengan tuntutan kuntifikasi. Harapannya memang terjadi pendidikan merata, namun itu mitos, yang pada kenyataannya justru universitas berlomba-lomba memanipulasi angka sekedar untuk akreditasi. Pembangunan gedung-gedung baru dianggap sebagai kemajuan universitas, sedangkan banyaknya lulusan seolah menjadi kebanggaan sebuah universitas. Lebih parahnya kurikulum universitas relative menggerus aspek etis seorang peneliti. 

Misalnya Kuliah Kerja Nyata, dengan format LPJ, mahasiswa justru dituntut membuat acara ceremonial yang tidak ada gunanya. Mahasiswa tanpa sadar kehilangan perannya ditengah-tengah masyarakat. Kesadaran yang muncuk bukan aktif membantu masyarakat dan menawarkan solusi terhadap aktivitas masayarakat, sebut saja masahasiswa lebih suka membangun pos kamling, WC umum, renovasi dll dibanding memberikan masukan terhadap pengelolaan air yang kurang bersih, pemberdayaan kerajinan lokal yang berbasis ekonomi kreatif, serta agenda-agenda lain yang mesti berdampak pasca KKN selesai, sehingga warga mendapatkan transfer keilmuan yang menjadi modal untuk membuat kehidupannya lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun