Pernahkan anda merindu? Mengkhayalkan pertemuan yang tak berujung nyata? Ah sudahlah, kita semua tak pernah terbebas dari rindu, tidak aku juga kau. Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pertanyaan dasar, kenapa saya berfilsafat? Ditengah zaman yang serba praktis, Ojek-online malah lebih banyak membantu ketimbang berfilsafat. Kedua, tulisan ini juga hadir disela-sela rindu hebat yang penulis alami. Baiklah, mari kita mulai rindu ini, eh, tulisan ini maksudnya.
Jika sartre seringkali mengilustrasikan manusia dengan condemned to be free (dikutuk untuk bebas) maka penelusuran Heidegger menempatkan manusia sebagai in-der-welt-sein (ada-dalam-dunia). Kendati berbeda, keduanya sama-sama tidak mengabaikan faktisitas manusia sebagai dasein (mengada atau eksistensi) dan malah menjadikannya sebagai bangunan dasar argumentasi mereka.
Apa itu faktisitas? Keadaan, situasi atau fakta baik fisik maupun sosial yang membelenggu manusia dan tidak dapat di kontrol (uncontrollable). Faktisitas sartre menjadi bangunan argumentasinya dalam melihat manusia yang hendak menentukan pilihan sebebas-bebasnya, sedangkan Heidegger menekankan bahwa faktisitas memberikan kemampuan manusia utk memproyeksi masa depan. Â
Bagi saya keduanya alih-alih memdeklarasikan kebebasan tanpa batas justru menyiratkan batasan manusia, batas itu yang kemudian dipertanyakan oleh Neil Evernden, "apa yang dimaksud batasan? Dan pentingkah batas?". Bedanya klo sartre menyatakan perang terhadap batas tersebut, sedangkan Heidegger malah memaknainya sebagai pesan utk terjadinya jalinan koneksi antara subjek dan objek.
Heidegger lebih lanjut menggambarkan kemampuan proyeksi manusia untuk melampaui faktisitas yang dijalani di masa kini. Sekarang bagaimana dengan kematian? Misalkan manusia mencoba menjangkau masa depan dengan planning detailnya, toh, kalau besok mati artinya justru kemampuannya terbatas, bukan?
Yap, Heidegger pula menjawab hal tersebut, ia katakan, being-towards-death (pengada-menuju-kematian) merupakan tahap pencerahan subjek, artinya subjek mampu mempertanyakan persoalan kematian dan kehidupannya dan ia juga mampu merefleksikan makna dibalik proses hidup mati.
Dari uraian tersebut kita bisa memahami sekurang-kurangnya dua hal. Pertama bahwa manusia hidup dalam penjara faktisitas dan darinya justru muncul kebebasan menurut Sartre atau pra-eksistensi bagi Heidegger. Kedua, kesadaran faktisitas hadir lewat proses bercermin melalui objek, oleh karenanya subjek dan objek tidak bisa dipisahkan, sedangkan relasi dengan objek sejatinya akan menghadirkan pemaknaan.
Sekarang merindu adalah persoalan ruang dan waktu, perbedaan ruang menghadirkan jarak dan memisahkan pertemuan. Sedangkan perkara waktu tidak bisa diabaikan, kadangkala memicu kehadiran orang ketiga kalau-kalau kesabaran mencapai batasnya. Darimana hadirnya rindu? Labenswelt atau pengalaman langsung subjek dengan objek, diawali dengan kesaksian menuju kesadaran, kesadaran bukan sekadar ingatan tapi lebih dari itu ada rekaman tubuh yang merasakan kenyamanan saat bersama.
Jadi merindu mensyaratkan kenanganan yang indah, terasa, dan nyaman. Tapi hidup dalam kerinduan adalah penjara faktisitas, terpisah oleh jarak dan waktu. Berdasarkan penjelasan Heidegger dan Sarte, merindu itu memicu kebebasan. Manusia yang lahir cacat justru memicu dia untuk bebas, bagaimana bisa?
Yah, dorongan untuk memikirkan cara lain untuk hidup menjadi demikian kuat, hingga kita menemukan ada orang cacat nyetir mobil dengan kaki misalnya. Dari faktisasilah justru kebebasan dan eksistensi muncul dan dari merindulah kita mulai memproyeksikan sesuatu, berinovasi agar hubungan tidak hancur karena perkara jarak dan waktu.
Beberapa dari teman saya giat saling mengirim surat pos dari satu negara ke negara lain, saya tanya kepadanya, apakah anda puas berhubungan seperti itu? Jawabannya bikin saya kaget, "surat itu lebih indah dibanding video call, anda bisa bayangkan pacar saya disana menyisihkan waktu disela-sela kesibukannya untuk mengunguntai kata indah buat saya sedangkan chat ataupun video call justru menjadi angin lalu karena disana tidak ada pengorbanan."