Mohon tunggu...
Luthfia Tri Anisa
Luthfia Tri Anisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

41 (Kekerasan Seksual dan Keadilan)

18 April 2021   23:52 Diperbarui: 19 April 2021   00:42 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama: Luthfia Tri Anisa

UTS Academic Skill

Kekerasan Seksual dan keadilan

Kasus kekerasan seksual di Indonesia kini semakin meningkat yang dimana hampir seluruh korban kekerasan seksual adalah perempuan, berdasarkan catatan Komnas Perempuan, sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019. Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus[1]. Perempuan di Indonesia yang mendapatkan kekerasan seksual sangat sulit untuk meraih keadilan. 

Definisi kekerasan seksual yang tercantum dalam perundang- undangan Indonesia masih sempit dan minimnya pandangan tentang gender oleh para aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati mengatakan bahwa saat ini kekerasan seksual yang dikenal di dalam hukum Indonesia hanya dua, yaitu pemerkosaan dan pencabulan. "Pemerkosaan dan pencabulan itu keduanya dibungkus dengan kontak fisik, korban harus langsung berhadapan dengan pelaku. 

Ketua Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Siti Mazuma mengatakan ada kendala bagi korban kekerasan seksual karena harus menyediakan saksi atau alat bukti dalam proses penyidikan. 

Kekerasan seksual terhadap perempuan itu rata-rata pelakunya adalah orang terdekat dan kejadiannya di tempat-tempat sendiri, tertutup namun banyak juga ditempat terbuka atau umum. Sering sekali aparat penegak hukum, apalagi kepolisian, mengejar bukti dan saksi, Kalau kekerasan fisik atau bisa melalui visum atau saksi tapi bagaimana dengan pelecehan seksual yang tidak bisa di visum dan tidak ada bekasnya[2]. Dengan adanya kasus kekerasan seksual akan dibahasnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). 

RUU PKS telah masuk kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021, dengan berjalannya perencanaan RUU PKS hanya berjalan ditempat tidak kunjung disahkan  dan adanya pertentangan- pertentangan, sementara itu kasus kekerasan seksual terus meningkat dan banyak dibutuhkannya keadilan, perlindungan untuk para korban. Salah satu alasannya tidak disegerakan pengesahan RUU PKS adalah karena sejumlah pasal RUU ditentang karena tidak sejalan dengan ajaran agama dan budaya Indonesia.

RUU PKS dibuat tidak hanya untuk Cuma- Cuma mendukung wanita ataupun perempuan melainkan tujuan dari pembuatan RUU PKS ini menuntut agar negara dapat menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak korban, melindungi korban, keadilan untuk korban kekerasan seksual, hal tersebut juga berupa penetapan kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk penanganan, perlindungan dan pemulihan korban dan keluarga.

 Pada tanggal 15 Januari 2021, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masuk kembali dalam 33 RUU yang ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2021. Pengesahan RUU KPS sangat penting karena RUU PKS memiliki manfaat yaitu sebagai kebijakan yang dapat mencegah atau mengurangi kekerasan seksual karena dalam kebijakan yang mencakup aspek pidana, aspek pemulihan dan penghapusan kekerasan seksual, RUU PKS memperluas tentang kekerasan seksual yang meliputi 9 perilaku yang dikelompokkan sebagai kekerasan seksual, RUU PKS membicarakan hukum acara pidana yang berkaitan dengan sikap penegak hukum terhadap korban, RUU PKS melarang aparat penegak hukum untuk merendahkan korban, menyalahkan korban dan membebankan korban, RUU PKS disebut sebagai kebijakan yang dapat memberikan perlindungan dan pemulihan korban, termasuk dengan melibatkan peran masyarakat dan tokoh daerah.[3]

Dalam RUU PKS dilihat dari kewajibannya yang bertujuan untuk memenuhi hak korban. Korban mendapatkan hak- hak, hak yang didapatkan korban adalah hak atas penanganan yaitu hak yang meliputi informasi, mendapatkan dokumen, pendampingan dan bantuan hukum, penguatan psikologis, pelayanan kesehatan (pemeriksaan, tindakan dan perawatan medis) serta memiliki hak untuk mendapatkan layanan dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan khusus korban yang diatur dalam pasal 24 ayat (1), (2) dan (3). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun