Mohon tunggu...
Luthfian Ramdhan
Luthfian Ramdhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Tidar

Teknik Elekto Universitas Tidar Part of Gerilya ESDM

Selanjutnya

Tutup

Nature

Mampukah Indonesia Mencapai Target Bauran EBT Tahun 2025?

13 September 2021   14:31 Diperbarui: 13 September 2021   14:34 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kalimat pertanyaan diatas mengawali semua pertanyaan pertanyaan lain yang berkaitan dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia. Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN), Indonesia mentargetkan penggunaan EBT pada tahun 2025 paling minimal sebesar 23% dan pada tahun 2050 implementasi EBT paling minimal 50% (Sumber Kebijakan Energi Nasional). Angka-angka tersebut terdengar optimis dan mungkin untuk dicapai dalam periode waktu 5 tahun, namun apabila kita melihat data pada tahun 2020 semua itu akan terdengar mustahil.

Data pada tahun 2020 menunjukan bahwa kondisi pembangkit energi di Indonesia didominasi 89% Energi fosil dan implementasi EBT pada tahun 2020 hanya sebesar 11% atau sekitar 10.467 MW. Porsi EBT Indonesia pada tahun 2020 terdiri dari bayu 154,3 MW, Surya 153,5 MW, Bio energy 1.903,5 MW, Panas Bumi 2.130,7 MW, dan Air sebesar 6.121 MW (Andi, 2021). Jumlah EBT yang terpasang terdengar sangat kecil dibandingkan dengan target yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional. Fakta yang mengejutkan adalah Kebijakan Energi Nasional yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah di sahkan pada tahun 2014, yang berarti progress implementasi EBT di Indonesia tidak mencapai setengah dari target yang dibuat.

Kekhawatiran muncul dibenak saya, apakah mungkin Indonesia dapat mencapai target energi baru terbarukan 23% di tahun 2025? Apakah bisa menaikan persentase energi baru terbarukan setengah dari target dalam jangka waktu lima tahun? Jawabannya adalah mungkin dengan melibatkan salah satu komponen. Saat ini pemain utama di Indonesia dalam menyediakan listrik adalah PLN, PLN menguasai 100% pangsa listrik di Indonesia. PLN memiliki kurang lebih pelangan sebanyak 70 juta rumah tangga. Target yang telah ditentukan dalam Kebijakan Energi Nasional akan mungkin dicapai apabila PLN bersedia berbagi “rezeki” ke 2 sektor yaitu Independent Power Producer (IPP) dan Masyarakat dalam membuat pembangkit kecil yaitu PLTS atap. Namun semua itu terganjal oleh regulasi Peraturan Menteri ESDM Nomor  49 Tahun 2018.

Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 menyebutkan bahwa PLN bisa membeli sisa daya yang dihasilkan PLTS para pelanggan PLN maksimal sebesar 65% dari jumlah kwh yang dihasilkan. Peraturan tersebut terasa kurang adil bagi masyarakat yang sudah mengeluarkan modal yang besar untuk memasang PLTS atap. Dengan maksimal pembelian 65% membuat Return of Investment menjadi sangat lama. Efek dari peraturan Menteri ini membuat pertumbuhan PLTS di Indonesia sangatlah kecil. Data pada tahun 2019 Indonesia telah menginstalasi sebanyak 0,07 GW, dan pada tahun 2020 sebanyak 0,02 GW. Angka ini sangatlah jauh dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia yang telah berhasil mengimplementasikan PLTS sebanyak 0.61 GW pada tahun 2020. Hal ini menunjukan pasar Indonesia untuk PLTS kurang potensial dan juga kebijakan yang ada kurang menarik masyarakat untuk memasang PLTS.

Kabar baik muncul belakangan ini, tahun 2021 ini, untuk mendukung percepatan  penggunaan energi terbarukan surya khususnya masyarakat dan Independent Power Producer (IPP) pemerintah berencana mengubah kebijakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap menjadi lebih menguntungkan masyarakat dan IPP namun tidak merugikan PLN. Revisi ini akan dilakukan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang penggunaan sistem PLTS atap oleh konsumen PLN. Pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 disebutkan bahwa ketentuan untuk ekspor listrik ke PLN hanya sebesar 65%. Kementerian ESDM berusaha untuk menambahkan ketentuan ekspor ke PLN yang sebelumnya 65% menjadi 100%. Dengan revisi peraturan Menteri maka PLN wajib untuk membeli 100% listrik dari konsumen yang memasang panel surya. Dengan rasio 1 banding 1 ini terdapat potensi penghematan subsidi listrik Rp 230 Miliar sehingga anggaran subsidi listrik dapat digunakan untuk hal lain yang lebih penting (Uly, 2021).  

Apakah dengan revisi Peraturan Menteri serta merta membuat masyarakat Indonesia berniat untuk memasang PLTS? Tentu belum. Peraturan tersebut memang akan memancing para IPP untuk melakukan investasi. Dengan peraturan baru maka para IPP akan mendapatkan keuntungan karena PLN akan membeli 100% sisa daya PLTS atap. Namun, masalah muncul di masyarakat Indonesia yang tergolong kedalam negara dengan pendapatan menengah ke bawah dimana Gross National Income (GNI) sebesar US$ 3.840 per kapita (World bank), belum bisa membeli PLTS karena teknologi ini masih sangat tidak terjangkau. Saat ini teknologi PLTS atap per kwh saat ini mencapai 12 – 25 juta rupiah. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk dapat mengimplementasikan PLTS atap. Masyarakat Indonesia lebih memilih membeli barang konsumtif dibandingkan dengan “energi baru” yang tidak bisa di pamerkan ke tetangganya.

Tantangan utama untuk dapat memenuhi target EBT tahun 2025 melalui PLTS atap adalah Masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat Indonesia BELUM/TIDAK mendapatkan edukasi tentang pentingnya beralih ke energi baru terbarukan khususnya PLTS. Penulis sendiri yang juga sebagai masyarakat, berpikir bahwa “Pemasangan PLTS atap ini sangat mahal dan tidak terlalu berpengaruh terhadap tagihan listrik, dan juga tidak sebanding dengan modal yang telah dikeluarkan”. Pemikiran seperti itulah yang sangat sulit untuk diubah apabila tidak ada solusi dalam pentingnya PLTS atap. Selain masalah edukasi, masyarakat Indonesia juga tidak mendapatkan “promosi” untuk pemasangan PLTS atap. Di tiap perumahan promosi yang ada hanya wifi, motor, pinjaman namun tidak ada promosi untuk beralih ke PLTS atap.

Untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam membantu percepatan target 23%, solusi yang bisa penulis tawarkan yang pertama yaitu melakukan edukasi kepada masyarakat yang dimulai dari tingkat sekolah dasar tentang pentingnya menggunakan energi terbarukan dan menjelaskan keuntungan menggunakan PLTS atap. Dengan edukasi maka pola pikir masyarakat Indonesia yang awalnya konsumtif dapat menjadi maju dan lebih peduli dengan lingkungan. Selain melakukan edukasi, para IPP juga diharapkan melakukan promosi ke perumahan warga tentang pemasangan PLTS atap.

Langkah terakhir yang menurut penulis cukup efektif untuk dapat meningkatkan penggunaan PLTS atap. Sebaiknya isentif yang tercantum pada KEN pasal 22 ayat 2 diberikan kepada setiap warga yang memasang PLTS atap. Insentif yang diberikan dapat berupa pemberian cashback pemasangan PLTS sebesar 10% atau dengan PLTS atap mendapatkan pajak bumi bangunan gratis seumur hidup. Dengan di iming imingi insentif masyarakat Indonesia mungkin akan terpikirkan untuk memasang PLTS atap, dan diharapkan dapat mempercepat Indonesia dalam mencapai target EBT 23% di tahun 2025.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun