Masuk bulan maulid betapa senangnya hati setiap muslim. Menyambut dan marayakan kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad Saw. adalah ritual tahunan yang diadakan oleh orang-orang islam baik secara individu maupun berjamaah. Selawat dibaca bersama-sama oleh yang hadir dengan harapan memeroleh syafaat dari Kanjeng Nabi saat di akhirat nanti.
Selawat adalah bentuk doa atau permohonan kepada Allah Swt. untuk Kanjeng Nabi beserta keluarga dan untuk si pembaca. Selaiknya permohonan pada Yang Maha Kuasa, mestinya dilakukan secara khusuk dan penuh hikmat agar apa yang dibaca dan diharapkan menembus langit. Selawat dibaca dengan khusyuk dan hikmat agar pula membekas dalam hati.
Sayang, kekhusyukan itu kadang terganggu oleh hal-hal lain yang ada di sekeliling kita. Sebut saja hape (handphone) dalam masalah ini. Dua paragraf di atas adalah suatu pengantar dari apa yang akan diulas selanjutnya mengenai hape yang tetap dalam genggaman di beberapa acara di mana saya terlibat di dalamnya.
Dalam acara maulid sebagaimana telah disebutkan di atas yang mestinya penuh hikmat dan khusyuk, malah kekhusyukan itu buyar karena ada yang memainkan hape. Mungkin hape tidak berpengaruh bagi yang imannya tebal, namun lain cerita bagi yang imannya tidak tebal-tebal amat atau cenderung tipis (contoh: saya).
Bagi yang imannya tipis, gerutu dan makian biasanya keluar dari pikiran dan untungnya tidak sampai ke mulut karena masih bisa menahan. Pedihnya lagi sepulang selawatan di acara maulid, orang yang bermain hape di acara tersebut menjadi ajang ghibah di rumah atau masyarakat. Gerutu, ghibah bahkan makian inilah yang menghilangkan pahala yang didapat saat selawatan.
Ulasan mengenai hape yang menimbulkan makian pernah diulas oleh Agus Mulyadi dalam artikelnya di Mojok.co tentang makian kolektif terhadap seorang penonton bioskop karena bermain hape saat film diputar. Dari ulasan itu dan beberapa kejadian di masyarakat, kita dapat memahami bahwa yang sifatnya pribadi berdampak pada lingkungan sosial. Hape yang sifatnya individual menimbulkan kesalahan dan dosa kolektif.
Tidak cukup di acara maulid, dalam ritual lainnya seperti tahlilan atau salat jumat yang dilaksanakan seminggu sekali tidak sedikit jemaah yang bermain hape. Padahal, khutbah jumat sedang berlangsung. Entah apa yang merasuki mereka sehingga tidak mampu menahan setengah jam saja tanpa hape dalam genggaman.
Potret hape dalam salat jumat tidak hanya menimpa orang-orang dewasa saja, tetapi anak kecil pun dengan asiknya bermain gim bersama temannya. Sementara itu orang dewasa lebih cenderung berbalas pesan, unggah atau ngepoin status WhatsApp, Instagram dan Facebook orang lain.
Lepas dari acara ritual, dalam kegiatan yang paling jamak dilakukan seperti acara ngopi bareng  yang digandrungi tua muda, hape menjadi pemisah, pemberi jarak antar individu dan kelompok. Dari hal seperti itu, muncullah istilah dalam bahasa Madura yang lagi booming saat ini "akompol keng ta' apolong" artinya 'berkumpul tapi tidak bersatu". Istilah ini biasanya digunakan untuk mengritik atau menegur orang lain yang lebih memedulikan hape ketimbang kawan dan lawan bicaranya.
Kritik sosial seperti di atas menunjukkan betapa jengahnya seseorang terhadap perilaku main hape tanpa batasan ini. Bahkan, teman saya (Lutfi Nurullah) menyebutkan hape telah menghipnotis penggunanya sehingga lupa lingkungan di sekitarnya. Tidak berlebihan manakala hape disebut telah menjadi Tuhan baru dan candu yang saat ini semakin susah untuk dikontrol.
Kritik yang diucapkan oleh seseorang kadang tak lantas menyadarkan si empunya hape. Justru, tidak menutup kemungkinan kritik ditanggapi dengan nada sinis dan bahkan pergulatan. Alibi si pengguna kerap merujuk pada hak dan kebebasan dalam berekspresi. "Hape-hape gua, ya terserah dong mau diapain" Begitulah kira-kira sangkalan si pengguna.