Akhir-akhir ini cuaca begitu terik. Apalagi jika keluar tengah hari, matahari yang berada pas di atas ubun-ubun, panasnya menusuk dan menyengat kulit. Tak ayal jika yang tidak kuat dan daya tahan  tubuh rendah akan sakit. Musim kemarau kali ini tampaknya akan panjang, menyusul belum adanya secercah mendung penanda hujan.
Panasnya musim kemarau saat ini, diiringi pula dengan panasnya perpolitikan di Indonesia, khususnya di tingkat daerah, seperti kabupaten. Iya, tanggal 09 Desember 2020 sebagai ketetapan waktu pemilihan kepala daerah (pilkada) sebentar lagi. Pantas saja jika dari sekarang ini, bahkan sebelumnya para kontestan berbenah mempersiapkan segala bentuk yang dibutuhkan termasuk salah satunya mencari dukungan sana-sini.
Biasanya kalau mengingat, membaca, dan melihat bentuk pencarian dukungan sepertinya begitu-begitu saja saban perhelatan. Pergi ke pasar, mengontrol harga barang di pasar, kemudian berjanji kalau ekonomi akan meningkat. Pergi ke tempat wisata kemudian berjanji kalau tempat wisata akan dikemas semenarik mungkin agar wisatawan yang datang lebih banyak lagi dan beberapa janji lainnya.Â
Selain itu, cara yang paling umum dilakukan adalah cetak banner sebanyak-banyaknya kemudian dipajang di mana-mana. Isi banner pun seperti itu, sekadar foto dengan pose ala lebaran dan beberapa janji seperti bantuan sekian juta, jaminan kesehatan, berantas korupsi ke akar-akarnya, dan janji lainnya yang biasanya berkisar antara 7 sampai 10 janji. Apakah itu ditepati? Hanya Tuhan yang tahu.Â
Gol A Gong (2012) menyebutkan bahwa andai saja poster, spanduk, dan baliho foto kandidat tidak hanya berpose membosankan tapi dengan pose membaca buku mungkin rasanya kampanye mereka akan gurih. Mereka masih berkutat dengan slogan berantas korupsi, Â tidak dengan cara lain seperti dengan membaca korupsi hilang.
Sebagaimana pernyataan Gol A Gong di atas tentang poster, baliho, dan spanduk dengan pose membaca buku sejauh ini belum saya temui. Pose-pose memegang atau membaca buku umumnya banyak ditemukan di poster-poster sekolah dan perguruan tinggi. Padahal dengan pose tersebut, kandidat akan tampak lebih berwibawa.Â
Berikutnya, kalau kita cermati dari sekian perhelatan, beberapa janji dari masing-masing kontestan hanya pada urusan ekonomi, wisata, atau urusan pemberantasan korupsi. Lain daripada itu, semisal pendidikan dan lebih-lebih pada kegiatan literasi masih jauh panggang dari api.
Memang sejauh ini, tidak dimungkiri janji mengenai peningkatan ekonomi atau bantuan modal usaha dan bantuan lainnya lebih bisa menggoda iman dan pilihan masyarakat. Secara turun-temurun senjata ini masih ampuh membelai kantong dan keinginan untuk menentukan pilihan kandidat ketimbang pilihan lainnya seperti peningkatan literasi masyarakat, Â sumbangan bahan bacaan, dan pendirian rumah literasi.
Menunggu musim kemarau buku (meminjam istilah Agus M. Irkham : 2012) berakhir di kabupaten lebih-lebih tingkat kecamatan ibarat pungguk merindukan rembulan, masih jauh antara asa dan realita. Setali tiga uang dengan politik yang telah diuraikan di atas, dalam bidang ekonomi pun sama mirisnya. Bisnis buku seperti tidak menjanjikan. Pasalnya daya tarik dan minat baca masyarakat rendah. Ditambah lagi dengan harga buku yang katanya terbilang mahal. Masih katanya, sebab jika dipikir harga buku tak jauh beda dengan harga paket data seluler, baju dan lainnya.
Alasan-alasan semacam itulah yang menyebabkan toko buku sebagai akses untuk mendapatkan bahan bacaan di kabupaten sangat minim. Masalah ini bukan mengada-ada, ini menjadi realitas yang harus diterima sebagaimana di tempat saya tinggal. Bisa disebutkan kurang lebih hanya ada empat toko buku yang tak begitu besar seperti Gramedia, Togamas, atau SAB di Yogyakarta. Dari keempat toko buku yang ada, tidak murni menjual buku bacaan, bisa dibilang buku hanya pelengkap dagangan.
Lalu bagaimana dengan yang di kecamatan? Gagasan menarik tentang toko buku di kecamatan pernah di tulis oleh Agus M. Irkham (2012) bahwasannya minimal ada satu toko buku dalam setiap kecamatan. Sejauh ini belum ada yang berani membuka toko buku di kecamatan terutama di tempat saya tinggal. Alih-alih membuka, terpikirkan pun masih belum sampai. Iya, kalau dipikir siapa yang mau jualan buku di kecamatan atau di desa. Penghasilan yang tak dapat diperkirakan dan kalah dengan kebutuhan lain semisal kebutuhan sandang dan pangan yang lebih menjanjikan.