Mohon tunggu...
Mohammad Lutfi
Mohammad Lutfi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tenaga pengajar dan penjual kopi

Saya sebenarnya tukang penjual kopi yang lebih senang mengaduk ketimbang merangkai kata. Menulis adalah keisengan mengisi waktu luang di sela-sela antara kopi dan pelanggan. Entah kopi atau tulisan yang disenangi pelanggan itu tergantung selera, tapi jangan lupa tinggalkan komentar agar kopi dan tulisan tersaji lebih nikmat. Catatannya, jika nikmat tidak usah beri tahu saya tapi sebarkan. Jika kurang beri tahu saya kurangnya dan jangan disebarkan. Salam kopi joss

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Citra Warkop dan Perannya dalam Mendukung Kemajuan Pendidikan

3 Juli 2020   21:12 Diperbarui: 5 Juli 2020   06:35 1366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar atau diskusi bisa di warung kopi (Sumber: Kompas/Walda Marison

Tidak dimungkiri sejauh ini pendidikan masih dibebankan kepada sekolah. Jika diprosentasekan secara sederhana pendidikan di sekolah 60%, dan rumah serta masyarakat masing-masing 20%.

Sekolah sebagai pencetak generasi yang handal dan berkemajuan sesuai dengan tuntutan zaman harus menempa pelbagai jenis siswa. Dengan begitu, mau tidak mau sekolah harus selalu sedia dengan jurus atau metode-metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa.

Pandangan tentang sekolah sebagai wadah pencetak generasi handal yang siap berjuang di masa depan untuk kemajuan bangsa seolah mengabaikan peran kelompok masyarakat lainnya seperti keluarga dan masyarakat itu sendiri. Sekolah seperti selalu berjalan di depan keluarga dan masyarakat untuk masalah pendidikan, padahal sekolah juga bagian dari masyarakat.

Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan tripusat pendidikan. Tripusat pendidikan inilah seharusnya berjalan beriringan mengajar dan mendidik anak generasi bangsa. Hingga pada akhirnya, tidak ada lagi problematika sekolah gagal dan sekolah menjadi kambing hitam atas kegagalan siswa dalam menggapai cita-cita yang diimpikannya.

Usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sudah seyogianya menjadi kesadaran usaha bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Oleh karenanya, siapapun dapat turut andil dalam usaha sadar tersebut, tidak terkecuali pengusaha warung kopi (warkop) sebagai bagian dari masyarakat yang dewasa ini mulai marak dan merebak hingga di pelosok desa.

Mengapa warkop? Kok bukan perpustakaan daerah, perpustakaan desa, atau taman baca?

Jawabannya, tempat-tempat seperti yang disebutkan itu merupakan tempat mainstream yang dipandang penuh kesunyian hingga saat ini. Warkop memiliki citra tersendiri bagi masyarakat di Indonesia yang senang tongkrongan atau cangkrukan.

Ruang diskusi santai

Seiring berjalannya waktu, kian kemari warkop menemukan penikmat barunya, yaitu kaula muda baik pelajar maupun mahasiswa. Bisa dilihat di mana-mana saat ini bukan hanya orangtua saja yang nongkrong di warkop saat pagi atau malam. Ditambah lagi, nongkrong di warkop saat ini tidak hanya identik dengan kaum pria, tetapi banyak wanita juga sudah biasa nongkrong.

Dari fenomena pergeseran tongkrongan inilah warkop dapat menjadi ruang berbeda dari yang semula hanya untuk jualan menjadi ruang pendidikan dan diskusi berbagai kalangan. Oleh karenanya, ruang pendidikan bukan hanya di dalam kelas yang terdiri dari guru dan siswa. 

Akan tetapi, ruang pendidikan bisa di mana saja semisal di warkop. Gurunya pun bisa siapa saja, seperti teman atau orang lain yang ada di warkop tersebut. Warkop dengan konsep sederhana membuat siapapun bisa berkunjung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun