Mohon tunggu...
Muhammad LutfiFirmansyah
Muhammad LutfiFirmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa HI

Mahasiswa HI yang ingin lulus cepat, kerja jadi diplomat yang hobinya tidur, ngopi, dan main game.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karakteristik Politik Luar Negeri ala Soekarno dan Soeharto Bila Menangani Pandemi Covid-19

30 April 2021   07:45 Diperbarui: 30 April 2021   07:47 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hingga saat ini, Indonesia telah merasakan 75 tahun kemerdekaan dari penjajah. Selama itu juga keadaan Politik Luar Negeri Indonesia berubah-ubah. Politik Luar Negeri Indonesia mengalami dinamika seiring dengan berjalannya waktu dan bergulirnya kepemimpinan. Diantara ke-7 presiden yang telah menjabat, tentunya kita tidak akan melupakan masa kepemimpinan presiden Soeharto dan Soekarno. Kedua mantan presiden tersebut memiliki banyak jasa bagi dinamika Politik Luar Negeri Indonesia. Namun demikian, dalam menjalankan Politik Luar Negeri, keduanya memiliki karakteristik dan corak yang berbeda-beda. Bahkan bisaa dikatakan bahwa Presiden Soeharto merupakan antitesis Presiden Soekarno, dalam kata lain keduanya memiliki karakteristik yang berlawanan. Selain itu, bagaimana kondisi Indonesia bila kedua pemimpin tersebut memerintah Indonesia di masa Pandemi COVID-19? Perbedaan-perbedaan dan prediksi tersebut akan dijelaskan lebih detail dibawah ini.

Karakteristik Politik Luar Negeri Soekarno

            Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno adalah kondisi ketika Indonesia baru saja mencapai kemerdekaannya yang telah dinanti-nanti setelah ratusan tahun berada dalam belenggu Imperialisme dan dan Kolonialisme bangsa Barat. Namun demikian, bangsa Indonesia tidak dapat merasakan langsung hidup bernegara dengan damai pasca terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada saat itu, Indonesia masih harus melawan kedatangan Tentara Sekutu dan juga  Belanda yang melancarkan Agresi Militer I dan Agresi Militer II, sehingga menjadikan bangsa Indonesia sekali lagi harus berjuang angkat senjata melawan Tentara Sekutu dan  Agresi yang dilakukan Belanda tersebut.

            Namun demikian, perang bukanlah jalan yang baik bagi kedua belah pihak. Perang mengakibatkan banyak kerugian baik di pihak Indonesia maupun Belanda. Sehingga perang yang berkecamuk mendorong kedua belah pihak untuk melakukan perundingan, maka perjuangan diplomasi pun dimulai. Perjanjian yang pertama kali dilakukan antara Indonesia dengan Belanda pada saat itu adalah Perjanjian Linggarjati atau yang sering disebut juga sebagai Perjanjian Cirebon. Pada perjanjian tersebut Belanda mengakui kedaulatan Indonesia yang terdiri dari Sumatera, Jawa dan Madura. Selain itu, perjanjian tersebut juga menandai pembentukan Republik Indonesia Serikat yang berdaulat kepada Ratu Belanda. Namun demikian perjuangan diplomasi tidak berhenti sampai disitu untuk mendapatkan kemerdekaan yang sesungguhnya, masih terdapat perjanjian-perjanjian lainnya seperti Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Rojen, dan Konferensi Meja Bundar. Adapun Komferensi Meja Bundar (KMB) merupakan perjanjian yang menandakan kemerdekaan Indonesia secara de jure yaitu pada 27 Desember 1949. Berangkat dari fakta tersebut maka dapat dikatakan bahwa karakteristik Politik Luar Negeri Indonesia pada masa Soekarno dipengaruhi oleh semangat anti penjajahan.

            Hal tersebut dapat dilihat bagaimana kecenderungan Presiden Soekarno untuk lebih dekat dengan negara-negara Blok Timur terutama Soviet dan RRC karena negara-negara Blok Barat sebagian besar terdiri dari negara-negara kapitalis dan penjajah. Kedekatan Soekarno dengan negara-negara Blok Timur dapat dilihat dari bagaimana sebagian besar utang luar negeri yang diperoleh pada masa Soekarno merupakan pemberian dari negara Blok Timur, dan juga bagaimana Soviet telah memberikan dukungan militer dalam Operasi Trikora untuk merebut Irian Barat. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa Soekarno juga Indonesia tetap menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, ditandai dengan terjalinnya juga hubungan dengan negara-negara Blok Barat dan juga pembentukan GNB serta pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.

            Bagaimana bila Soekarno memimpin Indonesia dalam kondisi Pandemi COVID-19 seperti saat ini? Dari karakter kepemimpinan beliau yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kita dapat memprediksi bahwa Indonesia akan lebih banyak bekerjasama dengan negara-negara Blok Timur terutama dalam hal pengadaan alat-alat kesehatan dan juga vaksin. Bahkan melihat konsep Ekonomi Berdiri di Kaki Sendiri (Berdikari) ala Soekarno bisa saja Indonesia berusaha untuk mempertahankan stabilitas ekonominya tanpa meminta bantuan dari pihak luar khususnya Barat.

Karakteristik Politik Luar Negeri Soeharto

            Setelah membahas tentang karakteristik Politik Luar Negeri dan bagaimana kepemimpinan Soekarno dalam menghadapi Pandemi COVID-19 maka marilah kita melihat bagaimana kedua hal tersebut dalam kepemimpinan Soeharto.

            Seperti yang telah disampaikan di awal bahwa kepemimpinan Soeharto diibaratkan sebagai antitesis dari kepemimpinan Soekarno, maka kecenderungan Soeharto adalah kepada negara-negara Barat. Perbedaan kecenderungan tersebut didasarkan pada keinginan Soeharto untuk membangkitkan ekonomi nasional pasca krisis yang dialami Indonesia pada tahun 1965an, yang mana pada saat itu terjadi inflasi besar dan utang luar negeri yang membengkak. Pada era Soeharto, terjadi pemutusan hubungan diplomatik dengan Tiongkok yang diakibatkan oleh sentiment anti komunis pasca G30S-PKI. Selain itu hubungan dengan Barat dan juga Jepang diperbaiki pada masa kepemimpinan Soeharto. Namun demikian, politik luar negeri yang bebas aktif juga tetap terjaga pada masa Soeharto, karena hubungan diplomatic dengan negara-negara komunis masih tetap terjaga. Hal-hal yang telah diupayakan Soeharto tersebut dilakukan agar Indonesia dapat mencapai stabilitas ekonomi. Dengan adanya hubungan yang baik dengan Barat, maka Indonesia dapat melakukan penjadwalan kembali pelunasan hutang dan mendapatkan bantuan luar negeri. Selain itu Liberalisasi Ekonomi juga dilakukan oleh Soeharto yang salah satu bentuknya adalah Penanaman Modal Asing dalam rangka membangun stabilitas ekonomi, berbeda dengan masa kepemimpinan Soekarno yang lebih memilih untuk Berdikari.

            Maka dari itu maka prediksi apabila Soeharto memimpin Indonesia pada masa Pandemi COVID-19 adalah Indonesia akan lebih banyak bekerjasama dengan negara-negara Barat. Mengingat Soeharto menarpak Diplomasi Bantuan dan Diplomasi Pembangunan maka Indonesia tidak segan untuk meminta bantuan ekonomi terhadap negara Barat untuk menjaga stabilitas ekonomi pada masa pandemi dan juga tidak akan ragu untuk bekerjasama dalam rangka pengadaan vaksin. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Soeharto akan menangani pandemi ini dengan cara lebih terbuka terutama dengan negara-negara Barat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun