Ternyata tak ada tenang yang tersisa, bahkan setelah hujan reda. Ada saja hama- hama yang menjadi pengganggu dalam kepala. Berkata sudah hambar,sudah mati rasa, itu semua omong kosong. Malah biarkan jiwa raga remuk, tulang-tulang patah dan menjadi binasa.
Namun kembali lagi pembalasan bukan hak perempuan itu, harus mengerti batasan, terlebih sungguh ada ketakutan, kedatangan seseorang dengan segala narasi dan percakapan pagi ini mengguncang jiwa dan menyadarkan bahkan memberikan rasa takut. Bagaimana setelah ini, dan akan jadi seperti apa jika sudah tua?
Terlalu asik bermain-main, terlalu menikmati umpatan-umpatan yang diciptakan. Kenapa harus terjerumus dalam lumpur ketidakberdayaan dan keterbatasan??? Berharap ada kesempatan akan kemurahan Sang Maha Besar dalam menjalani sisa akhir hidup. Sebelum menyesal dan terlambat, karena siapa yang akan mencatat sejarah dalam gaung ingatan jika bukan diri sendiri.
Teruntuk perempuan itu, jangan menjadikan ruang sunyi pada perjalanan hidup dan berusahalah setelah hujan reda untuk bisa benar-benar menikmati waktu yang ada dan memiliki sepotong kisah yang benar-benar tidak melulu tentang luka-luka.Â
Setelah hujan reda, memiliki kisah dan ingatan tentang relasi pertama yang memberikan oase yang menyegarkan, melepaskan pengampunan dan kasih. Sekali lagi, beruntung perempuan itu masih memiliki kesadaran pagi ini, karena akhirnya semua hanya menjadi kenangan.
Percaya akan ada rumah yang benar-benar rumah dan memberikan wadah untuk berteduh dan mendapatkan tenang teduh yang dirindukan dan jangan menjadi asing pada sesuatu yang tidak perlu divalidasi karena bagaimanapun dari awal sudah tahu kebenarannya hanya tinggal memberikan maaf dan penerimaan.
Ya, akan ada bianglala yang berwarna setelah hujan reda. Barangkali demikian!
***
Rantauprapat, 27-28 Maret 2025