Seluruh hidupku milik-Mu tapi aku masih menabur benih kebencian dan kehancuran. Aku manusia yang payah dan merumitkan diri sendiri. Aku berkabung di bawah impitan kekhawatiran. Segala ragu bergulung melingkupi aku.
Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku?. Pertanyaan yang sulit terdefenisikan. Pertanyaan yang sulit kujawab, barangkali aku telah gagal memahami diriku. Gelisah yang ada dalam diriku. Jiwaku gundah gulana.
Malangnya, dalam kepadatan hidup yang penuh ketidakadilan. Jiwaku bukan merindukan Sang Maha Sempurna si Penguasa Waktu, tapi malah menikmati waktu bersama kebodohan. Siang malam, air mataku jadi teman.
Saat jiwaku tertekan, aku menjadi manusia yang berpangkat Tuhan. Menjadi korban, pelaku, dan tersangka atas kedzoliman yang kulakukan. Terkadang, aku malah gempita merayakan ratapan yang kurasakan.
Bukan sekali atau dua kali, aku membunuh naluriku, kejadian yang bernama kepedihan malah kusimpan baik-baik dalam jiwaku. Aku seperti lalang di antara gandum. Ketika perasaanku mampu menimbulkan pertanyaan seperti. Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku? Ah, mungkin gelisah telah tumbuh terlalu lebat.
Untuk hidup pun, terkadang aku tak bergairah. Menerima perlakuan yang menimbulkan pedih hati. Kataku dalam hati, ada harapan yang harus kupadamkan. Dan harusnya, aku ingat pada Sang Pemilik Hidup. Haus pada Tuhan dan berharap pada-Nya.
Karena tak sepantasnya, aku membuat jeda dari Tuhan. Bagaimana jika Tuhan, pemilik hidup melupakan aku? Aku sama sekali sudah tidak bernilai.
***
Rantauprapat, 24 Januari 2021
Lusy Mariana Pasaribu