Mohon tunggu...
Lusy Mariana Pasaribu
Lusy Mariana Pasaribu Mohon Tunggu... Dosen - ***

Memerdekakan hati sendiri itu penting!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Aku dan Perempuan Itu

30 Desember 2020   07:07 Diperbarui: 30 Desember 2020   07:08 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari twitter/@kulturtava


Di perjalanan waktuku, aku mengenal seorang perempuan Sumatera yang usianya hampir sama dengan usiaku. Ada beberapa persamaan yang terdapat dalam diri perempuan itu dengan diriku. Dia dan aku sama-sama menyukai puisi. Namun, perempuan itu lebih mahir bercengkerama dengan diksi ketimbang aku.

Belakangan, aku merasa bersedih atas apa yang dialami perempuan itu. Dia melakukan kesalahan dengan membiarkan hal-hal yang tidak layak menggerogoti jiwanya. Memilih menjadi redup padahal sebenarnya perempuan itu bisa bersinar. Aku berpikir, mengapa perempuan itu memilih untuk menjadi redup.

Dia membiarkan dirinya habis terbakar pada keangkuhan. Padahal perempuan itu bukan anak kemarin sore, bahkan dia seseorang yang sudah menikmati pendidikan yang cukup untuk memiliki pemikiran yang rasional. Kupikir, pendidikan yang cukup tidak menjamin perempuan itu untuk bersikap logis. Nampaknya, dia terlalu minder akan sisi kiri dan kanannya.

Apakah yang mendera perempuan itu sesungguhnya? Entahlah. Sepertinya,  apa yang mendera perempuan itu, sangat mengganggu kesehatan jiwanya. Jiwanya terasa kosong. Aku dan perempuan itu memang tidak terlalu banyak bicara. Aku hanya menduga, dari lembar-lembar puisi yang dia tulis, perempuan itu telah mengalami kekeringan dan kerapuhan. Hari-harinya seperti rumput, sebentar ada, sebentar layu.

Dia melebur dalam gemuruh. Seperti pohon Anggur yang tidak riap lagi tumbuhnya. Bak jerami yang diterbangkan badai, karena perempuan itu sudah layu oleh angin Timur. Merasakan ratapan yang seharusnya tidak dirasakan.

Aku peduli pada perempuan itu.  Sayangnya, perempuan itu yang tidak mempedulikan hidupnya sendiri. Karena dia telah meledakkan warna kelam kabut yang pekat di seluruh dunianya. Musik kesepian yang berhembus kencang di daun telinganya membuat dia tertidur dalam sedu.

Dalam hening yang teramat panjang, aku tak ingin perempuan itu kehabisan amunisi baik. Kuharap, suatu waktu, perempuan itu akan menemukan arti kedamaian. Sehingga tidak lagi-lagi perempuan itu kehilangan musim yang baik. Bukankah hidup laksana perang, penuh perjuangan. Pada kesempatan lain, aku sungguh ingin perempuan itu mendapat kegembiraan yang seutuhnya. Makna hidup yang harus dimilikinya bersama penerimaan.

***
Rantauprapat, 30 Oktober 2020
Lusy Mariana Pasaribu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun