Mohon tunggu...
Lusiana Sofyan
Lusiana Sofyan Mohon Tunggu... Administrasi - SpDV

Dokter spesialis kulit dan kelamin (SpKK) atau Spesialis dermatologi dan venereologi (SpDV). Pernah merantau di Jepang bersama Fariz, Fahira dan Fahri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

SD di Jepang: Sehat, Mandiri, dan Ceria

3 Oktober 2014   19:09 Diperbarui: 31 Oktober 2015   07:12 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usia 6 Tahun mempunyai banyak makna di Negeri Sakura. Bisa dikatakan merupakan batu loncatan pertama dari kanak-kanak ke fase baru yang lebih menantang, dengan tingkat kewajiban serta kemandirian yang lebih tinggi. Seorang anak boleh melanjutkan ke sekolah dasar (SD) atau shougakkou jika pada tanggal 1 April usianya sudah 6 tahun. Peraturan terkait batas umur ini ketat sekali, kurang satu hari saja tidak diperbolehkan untuk masuk. Siswa kelas satu SD disebut ichi-nensei (murid tahun pertama).

Ichi-nensei merupakan suatu "pangkat" yang istimewa. Mereka mulai memakai randoseru, sejenis tas ransel khusus khas Jepang yang harga normal berkisar 50-80 ribu yen (5-8 juta rupiah). Budaya di Jepang, nenek-kakeklah yang membelikan sebagai hadiah. Memang terbilang mahal, tapi umumnya mempunyai kualitas yang bagus dan garansi selama 6 tahun. Jadi merupakan hal yang sangat wajar jika ransel anak SD di Jepang selama 6 tahun tidak pernah ganti. Bahkan, saat mereka lulus pun kualitas tas ransel ini masih bagus, sehingga tak jarang masih bisa di jual di recycle shop.

Seorang anak SD akan berangkat sekolah sendiri tanpa diantar-jemput orang tua, tetapi mereka harus bersama-sama siswa lain yang rumahnya berdekatan. Anak-anak dikelompokkan menjadi grup dan sekolah telah menentukan tempat bertemunya mereka dipagi hari. Yang menjadi ketua rombongan adalah anak kelas tertinggi yang ada dalam grup tersebut, biasanya siswa kelas 6. Sekitar 2 minggu sebelum hari pertama sekolah, Anak saya sudah mendapat kartu pos dari siswa kelas 6 yang berisi ajakan berangkat sekolah bersama dan tertera jam serta tempat dimana harus kumpul, Menurut saya ini termasuk budaya baik, yaitu terencana dan walau masih kecil sudah terbiasa mengirim pos. 

Untuk keamanan, anak SD diwajibkan selalu membawa 'bouhan bozai', yaitu sebuah alat sejenis alarm gantung yang jika ditekan akan mengeluarkan bunyi keras. Anak-anak akan mengaktifkan alarm ini jika ada sesuatu atau seseorang yang mencurigakan atau membahayakan. Jika ada dewasa yang mendengar suara ini, maka diharapkan segera menuju sumber suara dan membantu, atau jika perlu menghubungi pihak berwajib. Khusus untuk anak kelas 1, selama setahun pertama mereka wajib menggunakan topi dan cover kuning pada tas randoserunya (bisa dilihat difoto paling atas), yang menandakan bahwa anak ini masih harus lebih di perhatikan (anak baru, pen).

Di sini lebih mendahulukan memperkenalkan tata cara kehidupan sehari-hari.Kegiatan akademik, umumnya berlangsung dari jam 8 pagi sampai jam 3 sore. Tetapi biasanya ada pelajaran tambahan untuk siswa kelas 4 keatas. Pembelajaran utama seperti bahasa Jepang dan berhitung mempunyai porsi yang lebih dibanding pelajaran lainnya. Sedangkan pelajaran moral diajarkan tidak secara khusus dalam mata pelajaran tertentu, tetapi diajarkan oleh wali kelas dalam cerita atau diintegrasikan melalui pelajaran lain. Para murid juga disibukkan dengan mata pelajaran musik dan menggambar, jadi wajar saja anak Jepang dari kecil, kemampuan menggambar dan bermain musik rata-rata sudah bagus (bukan hanya bisa menggambar 2 gunung legendaris seperti saya). Begitu juga dengan kegiatan olahraga, porsinya sangat besar yaitu hampir setiap hari. Mungkin ini juga yang membuat anak Jepang jarang yang obesitas, selain pola makan yang sehat.

Dimusim panas, olahraga lebih sering berupa berenang, juga hampir setiap hari. Rata-rata SD di jepang mempunyai kolam renang sendiri.Tingkatan pendidikan di Jepang sama dengan di Indonesia yaitu enam tahun SD, tiga tahun SMP, tiga tahun SMA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan dasar (SD-SMP) tidak mengenal ujian kenaikan kelas, jadi siswa yang telah menyelesaikan proses belajar di kelas satu secara otomatis akan naik ke kelas dua, demikian seterusnya. Ujian akhir kelulusan juga tidak ada, sehingga siswa yang telah menyelesaikan studinya di tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP dengan sistem rayon, kecuali jika ingin mendaftar sekolah swasta.Menurut Akeno Yuki dalam artikelnya berjudul 'Mengintip Kurikulum Pendidikan di Jepang", sebenarnya sifat dan karakteristik kurikulum di Jepang hampir sama dengan kurikulum SD di Indonesia. Hanya yang membedakan adalah pada mata pelajaran kebiasaan hidup yang umumnya diajarkan di kelas 1 dan 2. Tujuan utama diajarkan mata pelajaran ini adalah untuk mengenalkan dan membiasakan anak-anak pada pola hidup mandiri. Anak terbiasa membereskan peralatan belajar sendiri, merapihkan kelas, membersihkan toilet sendiri (tidak ada petugas kebersihan khusus di sekolah) dan bergiliran menjadi penyedia makan siang teman-teman (tentang makan di sekolah sudah saya tulis di (http://lusiana-sofyan.blogspot.jp/2014/05/pelajaran-gizi-di-sekolah-jepang.html ).

 

Ruang kelas tidak kaku, tidak ada foto presiden atau pejabat lainnya. Dinding dalam maupun luar kelas hampir semua ditempel dengan hasil karya anak-anak, daftar piket makan, berbagai kosa kata bahasa jepang, Juga ada perpustakaan mini dan beberapa tumbuhan hidup untuk sarana belajar. 

Yang tak kalah menyenangkan, kegiatan belajar tidak hanya di dalam kelas. Secara berkala mereka mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan lahan pertanian atau perkebunan untuk belajar memetik teh, jeruk, menggali umbi-umbian, bahkan belajar menanam padi di sawah (biasanya di daerah luar Tokyo). Anak saya sampai hafal banyak jenis serangga dan tak jijik atau takut memegangnya. Dilain waktu, siswa secara berkelompok diajarkan cara menumpang kereta (densha) untuk melatih kemandirian. Selain itu ada kegiatan wawancara dengan orang-orang tertentu sebagai narasumber, bisa tetangga atau orang-orang yang lewat di jalan. Saya pernah melihat anak sekolah yang sedang mewancarai turis. Semua percaya diri, tak terlihat malu-malu dan pihak yang diwawancarai pun menjawab dengan serius, walau pewawancara hanyalah anak kecil, Anak-anak ini dari kelas 1 sudah dibiasakan untuk "berbicara", baik di tempat duduk maupun maju ke depan.

 

Ini adalah hal yang saya catat baik-baik ketika ada kegiatan kunjungan orang tua ke Sekolah. Ada sesi yang mana sensei menyebutkan sesuatu atau menanyakan sesuatu dan setelahnya hampir semua anak menunjuk tangan, tanda ingin menjawab. Setiap ada pertanyaan, selalu begitu. Semua berteriak : "haaik" seraya menunjuk tangan. Tidak penting jawabannya benar atau tidak. Sungguh membuat saya berdecak kagum, teringat kala sekolah dulu, jarang sekali saya dan teman-teman sekelas berani menjawab, Bahkan lebih sering menunduk dalam-dalam agar tidak ditunjuk oleh guru.. Dilain waktu siswa juga mendapat tugas membuat penelitian-penelitian kecil untuk dipresentasikan di depan kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun