Mohon tunggu...
Nurfadhilah
Nurfadhilah Mohon Tunggu... Konsultan - Beramal demi ridha Allah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang ibu rumah tangga dan pemerhati dunia Islam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Geliat Parpol

13 September 2021   07:51 Diperbarui: 13 September 2021   07:56 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Partai Amanat Nasional (PAN) kini resmi bergabung menjadi koalisi partai politik pendukung pemerintah. Hal ini diketahui dari hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II PAN pada 31 Agustus 2021 lalu. 

Dengan demikian, tersisalah dua parpol di parlemen yang tidak bergabung dengan koalisi pemerintah, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Bergabungnya PAN dengan koalisi pemerintah dinilai sebagai bentuk cairnya iklim perpolitikan di Indonesia. 

Menurut Pengamat Komunikasi Politik, Emrus Sihombing, baginya peristiwa ini tidaklah mengherankan karena politik itu cair. Dalam politik tidak ada musuh sejati maupun kawan sejati. Bila dalam waktu dekat Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet, bukan tidak mungkin PAN akan mendapat jatah kursi. Landasannya dari sudut politik, yakni tidak ada makan siang gratis.

Bertambahnya partai koalisi pemerintahan Jokowi menyebabkan partai oposisi semakin berkurang yang tentunya akan berpengaruh pada kekuatan oposisi sebagai kekuatan penyeimbang (check and balances) dalam politik demokrasi. 

Jumlah partai koalisi yang menguasai parlemen saat ini mencapai 82 persen. Fenomena berpindahnya partai oposisi menjadi koalisi ataupun sebaliknya merupakan hal wajar dalam politik demokrasi karena sistem politik ini berasaskan manfaat dan kepentingan. 

Rakyat hanya dibutuhkan saat berebut kompetisi pemilu. Partai politik dalam sistem demokrasi hanya akan berjalan di bawah prinsip politik transaksional, sehingga merupakan karakter alaminya jika politik demokrasi selalu berputar dalam pembahasan koalisi, jatah kursi, kontestasi, dan kepentingan yang ingin diraih. 

Partai oposisi sekalipun akan fokus untuk mengamankan kursi dalam kekuasaan. Padahal rakyat sedang menunggu kebijakan yang bisa membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Namun pejabat malah ribut berebut posisi bukannya fokus menangani masalah pandemi, bahkan membiarkan rakyat berjuang sendiri melawan covid-19. Demikianlah gambaran partai politik produk sistem demokrasi sekuler.

Berbeda dengan partai politik dalam sistem pemerintahan Islam yang memiliki peran strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat. Menurut 

Islam, politik bermakna mengurus urusan rakyat. Maka tujuan dari partai politik adalah untuk membina dan mendidik umat dengan cara membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar, bukan sekedar sebagai wadah yang menampung aspirasi rakyat sebagaimana dalam sistem demokrasi. 

Keberhasilan partai dalam membangun kesadaran politik rakyat bisa dikaji dari dua aspek, yang pertama, pemikiran dan tujuan yang menyatukan partai. Apakah pemikiran tersebut benar ataukah keliru. Kedua, asas yang mendasari terbentuknya partai. 

Partai politik yang benar dibangun atas empat asas, yaitu pemikiran yang menentukan tujuan, metode yang ditempuh partai untuk mencapai tujuannya, anggota-anggota partai dan keyakinan mereka terhadap pemikiran dan metode partainya, serta cara untuk menyatukan masyarakat dengan partai tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun