Mohon tunggu...
Nurfadhilah
Nurfadhilah Mohon Tunggu... Konsultan - Beramal demi ridha Allah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang ibu rumah tangga dan pemerhati dunia Islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada Apa di Balik Program Deradikalisasi Pelajar?

13 Juni 2018   08:21 Diperbarui: 13 Juni 2018   09:07 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru ini, temuan BIN dari hasil riset tahun 2017 menyatakan bahwa 39% Mahasiswa terpapar radikalisme. Kemudian 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA dan sederajat setuju dengan tegaknya Negara Islam di Indonesia (voaindonesia.com, 30/4/18). Hasil survey setara institute pada 2010 menunjukkan 8,5% siswa SMA di Jakarta dan Bandung setuju jika dasar Negara Pancasila diganti dengan aturan agama.

Sementara itu, 35% pemuda Indonesia mendukung Khilafah Islamiyah sebagai sistem politik baru (setara-institute.org, 5/9/17). Dari hasil temuan dan riset di atas, pemerintah menganggap radikalisme ini berbahaya dan ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Saat ini, kata radikal memang mempunyai makna yang negatif. Padahal dalam kamus, kata radikal memiliki arti; mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI Online). Dalam pengertian ini, sebuah sikap radikal bisa bermakna positif atau negatif, bisa tumbuh dalam entitas apapun; tidak mengenal agama, batas teritorial negara, dan ras.

Namun, kini label radikal dilekatkan kepada pelajar Muslim yang memiliki cara pandang serta sikap keberagamaan dan politik yang kontradiksi dengan mainstream (arus utama). Dengan kategorisasi sebagai alat identifikasi, pelajar radikal adalah pelajar yang memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya, mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi syariah dalam negara, menggangap Amerika Serikat sebagai biang kezaliman global.

Pemerintah menganggap pelajar inilah merupakan sasaran empuk radikalisme tersebut, maka harus ada upaya untuk menangkal dan mengubah sikap serta sudut pandang radikal yang dianggap keras (dengan julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak, pluralis, dan moderat.  Itulah akhirnya pemerintah melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris) menggulirkan program deradikalisasi pelajar.

Program Deradikalisasi Pelajar

Salah satu program deradikalisasi untuk pelajar berdasarkan hasil Semiloka yang diselenggarakan Pusbangdatin Hukum dan Ham adalah meningkatkan pemahaman, pengamalan, dan pengembangan nilai keagamaan yang benar serta penguatan pendidikan karakter kebangsaan di sekolah/satuan pendidikan (balitbangham.go.id, 26/10/16).

Senada dengan hasil Semiloka tersebut, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Suhardi Alius mengatakan perlunya memasukkan pelajaran etika karakter bangsa dalam kurikulum untuk mencegah penyebaran paham radikalisme (tempo.co, 10/4/17). Oleh karena itu, Mendikbud Muhadjir Effendi mencanangkan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang secara serentak akan dimulai pada semester genap tahun ajaran 2017-2018 (pikiran-rakyat.com, 16/10/17).

Program Penguatan Pendidikan Karakter ini sejalan dengan sembilan program prioritas Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK. Dimana salah satunya adalah Revolusi Karakter Bangsa. Hingga pada akhirnya, presiden mengeluarkan Perpres_Nomor_87_Tahun_2017 terkait pendidikan karakter. Penguatan Pendidikan Karakter yang selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).

Maka dari itu, breakdown dari PPK ini adalah; memasukkan 18 nilai karakter yang kini diperas menjadi 5 nilai karakter, yaitu nilai religius, integritas, gotong royong, mandiri, dan nasionalis; perubahan penilaian untuk menilai aspek afektif (karakter); ada tambahan divisi Pendidikan Keluarga di Kemdikbud; full day school; dan gerakan literasi (kemdikbud.go.id, hasil monitoring dan evaluasi PPK Kemdikbud 2017).

Selain melalui kurikulum sekolah, program deradikalisasi pelajar juga dilakukan LSM. Seperti yang dilakukan Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) bekerjasama dengan United Nation Development Program (UNDP), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, yang menggelar program deradikalisasi bagi Gerakan Pramuka Karang Taruna di Jawa Barat dan Banten dengan mengusung tema Pramuka for Nationalism and anti-Extremism, (syiarnusantara.id, 1/12/17).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun