Minuman keras, yang sebetulnya barang haram kini mudah kita jumpai, baik di supermarket, minimarket atau toko yang terang-terangan berlabel "beer store". Miris sekali, karena kita berada diantara masyarakat mayoritas muslim namun maksiat seakan tak terkendali.
Miras yang tertata rapi di toko hanyalah bukti sebagian dari masyarakat kita mengkonsumsinya. Fakta yang lebih mengerikan, beberapa orang harus meregang nyawa karena miras oplosan. Tercatat 89 orang tewas akibat miras oplosan, 58 orang berasal dari Jawa Barat, 31 dari Jakarta (nasional.republika.co.id, 13/4/2018).
Miras ternyata bukan hanya jadi gaya hidup bagi masyarakat kalangan menengah dan ke atas. Tapi gaya hidup konsumsi miras juga sampai ke pinggiran kota. Hal ini sampai terjadi, karena masyarakat telah dijauhkan dari nilai-nilai islam. Bagi masyarakat pinggiran kota, miras oplosan mungkin bukan sekedar gaya hidup. Tapi juga pelarian dari berbagai kesulitan hidup yang dihadapi.
Meskipun masyarakat kita sebagian besar beragama muslim namun kita sudah 'terpisah' dari islam sebagai pegangan hidup. Masyarakat harus dikembalikan pada nilai-nilai islam. Halal-haram harus dijadikan prinsip. Dosa dan pahala harus menjadi timbangan dalam berprilaku. Ber-islam tidak hanya dalam beribadah. Tapi juga dalam berperilaku, bermasyarakat bahkan bernegara.
Pemerintah seharusnya lebih serius menangani ini. Tidak hanya penjual miras oplosan yang ditindak. Minuman keras harus benar-benar ditiadakan di masyarakat. Konsumi miras baik oplosan atau bukan, adalah sebuah maksiat terhadap Allah. Selain untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat, juga agar bisa mencegah maksiat lainnya yang bisa timbul dari konsumsi minuman keras. Jika hukum buatan manusia tak sanggup menyelesaikan masalah miras ini, mengapa tak kembali pada hukum Allah?
Wallahu a'lam bish shawab
By. Tita Rahayu