Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Batas antara Ruang Publik dan Privat Tidak Perlu Sekaku Itu

8 Maret 2023   22:28 Diperbarui: 9 Maret 2023   05:51 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan berbagi peran (Sumber gambar dari kompas.com)

Ada sebuah artikel menarik yang ditulis oleh tokoh feminis muslim Indonesia, Lies Marcoes di kompas.id (8/3/2023) yang berjudul Memperkuat Perempuan di Ruang Privat. Menurut perempuan yang kini menjadi visiting fellow pada KITLV Universitas Leiden, Belanda itu, ada hal-hal yang membuat perubahan untuk nasib perempuan di ruang privat menjadi sulit. Kesulitan itu bisa muncul akibat faktor kultural dan penafsiran atas doktrin agama yang tidak kontekstual sehingga turut memperkuat dan melanggengkan norma gender tradisional. 

Norma gender tradisional menetapkan batasan yang kaku antara ruang privat dan publik, di mana ruang privat adalah urusan perempuan dan ruang publik adalah urusan laki-laki. 

Tanggung jawab perempuan atas ruang privat bisa membuat seorang anak perempuan terhalang untuk mendapatkan pendidikan yang baik. 

Ketika Covid-19 misalnya, studi kuantitatif di sejumlah daerah menunjukkan bahwa anak perempuan lebih rentan berhenti sekolah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orangtua laki-laki (ayah) yang kehilangan pekerjaan, istri atau ibu harus bekerja (melakoni pekerjaan informal) sehingga pengurusan keluarga diserahkan kepada anak perempuan. 

Kondisi lainnya yang menghalangi anak perempuan untuk bersekolah adalah perkawinan anak. 

Undang-undang pernikahan terbaru mensyaratkan bagi perempuan yang akan menikah sekurang-kurangnya berusia 19 tahun dan laki-laki 21 tahun. Namun, bagi beberapa orangtua--yang entah karena takut anaknya pacaran kebablasan atau alasan tradisi--tetap menikahkan anaknya yang masih di bawah umur. Meminta dispensasi pun ditempuh dan institusi yang berwenang seringkali lebih tunduk pada keputusan keluarga tersebut ketimbang undang-undang yang sah. 

Norma gender tradisional juga seringkali menghalangi perempuan untuk bekerja. 

Di masyarakat kita, seorang laki-laki (meski pengangguran) tetap diposisikan sebagai kepala keluarga (KK) dan pencari nafkah utama. Sementara perempuan yang bekerja, posisinya dianggap hanya sebagai pencari nafkah tambahan. 

Padahal kenyataan menunjukkan bahwa di beberapa keluarga yang terjadi adalah sebaliknya. Setidaknya saya menyaksikan hal tersebut ada dalam keluarga besar saya. Sayangnya, eksistensi dan peran perempuan KK masih dianggap tidak lazim dan diabaikan. 

ilustrasi peran perempuan dan laki-laki di ruang privat-photo by RODNAE Production from pexels
ilustrasi peran perempuan dan laki-laki di ruang privat-photo by RODNAE Production from pexels

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun