Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apa yang Membuat Kasus Kekerasan Seksual pada Laki-laki Kerap Disepelekan?

17 Februari 2023   04:30 Diperbarui: 17 Februari 2023   20:16 1003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan seksual pada laki-laki (SHUTTERSTOCK)

"Mana mungkin laki-laki jadi korban kekerasan seksual? Yang ada malah mereka pelakunya." 

Hm, sayangnya tidak selalu seperti itu keadaannya, Maemunah. Mentang-mentang jumlah kasusnya lebih sedikit, lantas dianggap tidak ada? 

Masih ingat kasus karyawan KPI Pusat yang menjadi korban perundungan dan kekerasan seksual oleh rekan-rekan kerjanya? Kasus Reynhard Sinaga di Inggris? Atau kasus mbak-mbak content creator yang baru-baru ini viral gara-gara video prank-nya yang menjurus pada pelecehan ke abang-abang ojol? 

Semua korban dari tiga kasus tersebut adalah laki-laki. Jadi, jelaslah bahwa kekerasan seksual bisa dilakukan dan dialami oleh siapapun, baik laki-laki, perempuan, anak-anak, dewasa, cis-heteroseksual, homoseksual, transgender dan apapun identitas seseorang. 

Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID tahun 2020, ada 33% laki-laki menjadi korban kekerasan seksual, khususnya dalam bentuk pelecehan seksual. Hal ini juga didukung oleh hasil survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, di mana 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. 

Sementara itu, data kekerasan seksual tahun 2018 yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa persentase anak laki-laki yang mengalami kekerasan seksual lebih tinggi daripada anak perempuan, yaitu sebanyak 60% untuk anak laki-laki dan 40% untuk anak perempuan. Ini artinya anak laki-laki lebih rentan menjadi korban pedofilia. 

Kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak yang tergolong ke dalam kategori remaja (usia 13-17 tahun) pun menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2017, prevalensi kekerasan seksual pada anak laki-laki 8,3% atau dua kali lipat lebih tinggi daripada anak perempuan (4,1%) untuk kategori usia yang sama. 

Meski jumlah kasus kekerasan seksual pada laki-laki secara umum lebih sedikit, kecenderungan korban laki-laki untuk melapor, kasus yang diakui dan ditangani oleh pihak berwenang juga lebih sedikit. Padahal efek kekerasan seksual pada laki-laki sama menyakitkannya dengan yang dialami korban perempuan, seperti malu, kehilangan rasa percaya diri, depresi, marah, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, disfungsi seksual, trauma dan timbulnya keinginan untuk bunuh diri. 

Maskulinitas Toksik Menghambat Penanganan Kekerasan Seksual pada Laki-laki 

Maskulinitas toksik yang berakar dari kuatnya budaya patriarki ternyata juga bisa merugikan dan membebani laki-laki. 

Dalam pandangan maskulinitas toksik, laki-laki dituntut untuk selalu kuat (baik fisik maupun mental), berkuasa, lebih aktif dan agresif secara seksual. Efek dari maskulinitas toksik adalah memanfaatkan ketimpangan relasi kuasa untuk menormalisasi tindak kekerasan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun