Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Hari PPHAM dan Stigma yang Kerap Diterima oleh Perempuan Pembela HAM

30 November 2022   09:57 Diperbarui: 30 November 2022   10:10 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sejumlah perempuan berdemonstrasi menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan-photo by Max Ravier from pexels

Perempuan speak up soal kekerasan seksual, dibilang SJW gender. Kampanye penggunaan sedotan stainless atau kayu alih-alih sedotan plastik, dibilang SJW sedotan. Mengingatkan pengendara motor yang nyerobot trotoar, dibilang SJW trotoar.

SJW (Social Justice Warrior) atau Pejuang Keadilan Sosial, kalau dilihat dari namanya sebetulnya bagus. Entah gara-gara siapa, istilah SJW mengalami pergeseran makna menjadi bercitra negatif.

SJW dicitrakan sebagai orang-orang yang galak, oversensitive, suka terlibat perdebatan mengenai masalah gender, lingkungan atau masalah sosial lainnya, tapi hanya untuk mencari pembenaran.

Namun, apakah semua SJW semenyebalkan itu? Bagaimana dengan SJW yang betul-betul menyuarakan kepedulian? Masa ada orang mengajak pada kebaikan malah diledek?

2. Sering diejek sebagai "Si Paling Open Minded"

Hal yang paling menjengkelkan ketika menyuarakan isu-isu kesetaraan adalah orang-orang yang kalau tidak setuju, bukannya adu argumen secara rasional dan dewasa, malah mengeluarkan pernyataan yang out of context, logical fallacy dan ejekan "Si Paling Open Minded". 

Ini sebetulnya lagi debat sama orang dewasa atau anak TK sih?

Apalagi kalau isu yang dibahas unpopular dan pandangan, sikap, kebiasaan atau pilihan hidupnya berbeda dengan mayoritas. Seolah-olah semua pandangan, sikap, kebiasaan atau pilihan hidup mayoritas itu pasti benar, sedangkan yang minoritas selalu salah dan menyimpang.

3. Dipertanyakan identitas, seksualitas atau peran gendernya

Menjadi feminis di negara dengan kesenjangan gender yang begitu lebar memang tidak gampang. Harus kuat mental menghadapi tekanan sosial dan stereotipe yang berkembang. 

Ketika perempuan menunjukkan identitasnya sebagai feminis, ia bakal dihadapkan dengan sejumlah stereotipe seperti, pembenci laki-laki, anti pernikahan, anti punya anak, anti Ibu Rumah Tangga, benci pekerjaan domestik, benci make up, pendukung seks bebas, penyuka sesama jenis sampai ada yang disangka sebagai agnostik atau atheis.

Padahal yang benar adalah feminisme membenci patriarki, bukan laki-laki. 

Feminis juga banyak yang menikah, punya anak dan menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun