Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jilbab dan Obsesi untuk Mengatur Tubuh Perempuan

5 Agustus 2022   17:09 Diperbarui: 8 Agustus 2022   18:04 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan berjilbab-photo by Janko Ferlic from pexels

Dulu, pakaian perempuan diatur oleh tradisi, kemudian diatur oleh lingkungan, industri hingga media sosial di zaman kiwari. Bahkan pakaian perempuan pun tidak jarang dijadikan sebagai alat propaganda politik untuk berebut massa dan pengaruh. 

Pada tahun 1952, perempuan dianggap indah dan cantik jika mengenakan batik. Namun, tiga tahun kemudian, kondisinya berubah. Batik digambarkan sebagai simbol modernitas, kekayaan kultural dan sumber perkembangan ekonomi nasional. 

Kemudian pada tahun 1960-an, perempuan dilarang berpakaian yang memperlihatkan payudaranya. Di sinilah pakaian perempuan dijadikan alat untuk menegasikan pengaruh budaya asing di Indonesia. 

Di masa Orde Baru larangan berjilbab dilakukan dengan alasan untuk membatasi pengaruh fundamentalisme Islam. Hal ini tidak lain merupakan stereotipe bahwa jilbab adalah simbol ekstremisme. Di masa ini pulalah, kebaya didaulat menjadi identitas nasional perempuan Indonesia. 

Berkebalikan dengan zaman Orba, jilbab saat ini bukan lagi sebatas pakaian bagi perempuan muslim. 

Kini jilbab telah menjadi bagian dari kontrol sosial atas tubuh perempuan. Seolah ada stereotipe bahwa perempuan berjilbab itu lebih baik dan religius. 

Jilbab juga kerap dipolitisasi, misalnya untuk pencitraan demi mendulang suara dari kelompok tertentu atau pencitraan ketika sedang tersandung kasus hukum. 

Perempuan Dipandang Sebagai Objek 

Sejak dulu, saya sering bertanya-tanya: mengapa perempuan harus diikat dengan banyak aturan? Pakaian, make-up, cara bicara, cara berjalan, duduk, bekerja, berumah tangga dan berbagai aktivitas, selalu saja diatur. Tidak boleh terlalu ini, tidak boleh terlalu itu. 

Sampai-sampai saya berpikir kalau perempuan memang sebaiknya jadi umbi-umbian saja (saking jengkelnya saya). 

Jawaban yang sering saya dengar biasanya tidak jauh-jauh dari narasi: perempuan itu sumber fitnah. Kadang narasi ini ditelan mentah-mentah tanpa mengulik lebih dalam apa, mengapa dan bagaimana. Padahal laki-laki juga bisa jadi sumber fitnah bagi perempuan. 

Akhirnya, perempuan hanya dipandang sebagai objek, bukan subjek yang berdaulat atas dirinya sendiri. Dianggap tidak mampu berpikir dan bertindak rasional sehingga harus diatur sedemikian rupa dengan alasan agar perempuan "tidak kebablasan". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun