Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Melawan Toxic Positivity dengan "Active Listening"

4 Agustus 2021   13:37 Diperbarui: 23 Maret 2022   02:49 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mendengarkan secara aktif untuk melawan toxic positivity | Photo by Karolina Grabowska from pexels.com

Sebenarnya sebelum Kompasiana mengajak Kners menulis topil toxic positivity, saya sudah pernah menuliskannya di artikel yang berjudul "4 Cara Menanggapi Curhatan Seseorang agar Tidak Terjebak pada Toxic Positivity" (diklik saja kalau mau baca). Jadi, saya hanya akan menambahkan secuil poin pembahasan pada artikel ini.  

Toxic positivity sering tampak pada seseorang yang dijadikan teman curhat, yaitu dengan melontarkan kalimat-kalimat yang terdengar "bijak" dan "positif" tapi sebenarnya menyakitkan. Mirip seperti contoh yang sebelumnya telah saya sebutkan di awal artikel. 

Salah satu cara melawannya adalah dengan mendengarkan secara aktif (active listening) agar kita dapat memahami permasalahan dan apa yang sedang ia rasakan saat itu.

Active listening itu tidak sekadar mendengarkan masuk kuping kanan keluar kuping kiri, tetapi mendengarkan dengan hati. Ada empati dan kemauan untuk memahami. Dengan begitu kita akan bersikap lebih bijak dan tidak asbun alias asal bunyi.

Untuk menjadi seorang pendengar yang aktif, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan.

Pertama, diam dan dengarkan mereka yang berkeluh kesah pada kita

Beberapa kali saya sampaikan dalam artikel yang lain bahwa orang curhat itu belum tentu mau minta saran atau nasihat. Jadi, sikap paling tepat yang kita lakukan adalah diam dan dengarkan keluh kesah mereka sampai tuntas. Jangan memotong cerita mereka, jangan buru-buru menghakimi dan---yang paling penting namun sering khilaf---jangan adu nasib.

Jika ia ingin menangis, jangan suruh ia untuk menahan air matanya. Siapa tahu menangis adalah hal yang sedang ia butuhkan saat itu.

Menjadi teman curhat juga butuh kesiapan mental dan kestabilan emosional. Kalau kita sedang sama-sama dalam keadaan tidak baik-baik saja secara mental atau emosional, sebaiknya jujur saja tentang keadaan kita sambil tawarkan di lain waktu (kalau ia mau).

Kedua, validasi emosinya

Jangan menyuruh seseorang untuk tersenyum saat ia masih berduka akibat ditinggal wafat orangtuanya. Jangan meminta seseorang untuk tegar saat hatinya masih ambyar gara-gara ditinggal nikah pujaan hatinya.

Kita perlu memahami bahwa emosi manusia itu ada juga yang negatif, seperti sedih, marah, takut, jijik. Manusia tidak selamanya selalu merasa bahagia. Ada kalanya manusia mengalami kejadian yang membuatnya tidak dapat tersenyum dan tertawa.

Semua jenis emosi, baik positif maupun negatif, adalah valid. Melontarkan kata-kata positif (yang beracun) saat kondisi emosional seseorang sedang tidak baik-baik saja akan membuatnya merasa bahwa Anda tidak peduli pada keadaannya.

Ketiga, tanyakan padanya apa yang ia butuhkan sekarang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun