Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Ketika Quarter Life Crisis Menjadi Titik Balik Kehidupan Saya

12 Mei 2021   09:55 Diperbarui: 12 Mei 2021   15:27 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi quater life crisis (Sumber: pexels.com/TessEmilySeymour)

Kadang saya berpikir, "ke mana saja saya selama ini?", "apa sih yang sudah saya lakukan selama ini?", "kenapa tidak sejak dulu saya lakukan?", "kenapa saya selalu terlambat sementara yang lain sudah berlari kencang?".

Jika dulu saya lebih sering khawatir, insecure dan overthinking atas penilaian dan pengakuan orang terhadap kemampuan atau pencapaian saya, sekarang saya bisa bersikap lebih cuek. Sekarang saya lebih takut jika hidup saya tidak memberi manfaat apa-apa pada sesama, meski satu orang saja.

Saya sadar ternyata capek juga kalau harus terus-menerus mengharapkan validasi orang lain atas setiap pemikiran, perasaan, kemampuan, perubahan atau pencapaian saya. Karena tidak semua orang peduli tentang semua itu. 

Bahkan termasuk tulisan receh ini bukan?

Jadi, untuk apa saya mengharapkan validasi dari orang lain jika saya yang lebih paham tentang keadaan saya sendiri? Toh, yang mengalami dan menjalani adalah saya sendiri. Bukan mereka. 

Barangkali ada yang menganggap bahwa hidup saya terlalu abstrak karena minimnya orientasi hidup yang bersifat materil dengan target yang harus tercapai di angka atau usia sekian. Seperti usia 25 tahun harus sudah punya pasangan, usia 30 tahun sudah harus punya rumah dan mobil pribadi, usia 35 tahun sudah harus punya tabungan di atas Rp 100 juta dan sebagainya. Bukankah ini adalah standar kesuksesan yang selalu dicekokkan ke dalam kepala anak-anak muda, sejak generasi kolonial sampai milenial, generasi Z sampai generasi alfa?

Bukan saya tak ingin. Saya hanya merasa bahwa saya dan teman-teman muda sekalian tidak wajib mengikuti template kesuksesan yang seperti itu. Karena setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing, punya timing dan momen yang berbeda antara satu orang dengan yang lain.

Kita belum tentu tahu tantangan dan kesulitan hidup apa yang mereka alami. Yang perlu kita lakukan adalah mendukung dan berhentilah memaksakan standar hidup atau kesuksesanmu pada orang lain. Sadarlah bahwa tidak semua orang cocok dengan standar tersebut.

Barangkali ada yang menganggap bahwa saya bukan anak muda yang punya cita-cita atau ambisi tertentu hanya berdasarkan penilaian luar atas diri saya yang cenderung tampak tenang dan pendiam. Maka bisa dipastikan bahwa orang ini pasti tidak benar-benar mengenal saya.

Karena sejatinya saya masih tetap menjadi Luna yang perfeksionis, idealis dan "sedikit" ambisius. Bahkan sampai akhir hayat.

Intinya, saya hanya memilih jalan yang agak berbeda dengan kebanyakan orang. Saya masih dan akan terus belajar, berkenalan dan menemukan sisi lain diri saya. Bagi saya ini menyenangkan dan menantang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun