Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan dalam Bayang-bayang dan Stigma Infertilitas

20 April 2021   13:13 Diperbarui: 21 April 2021   06:39 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan dalam Bayang-bayang dan Stigma Infertilitas | Sumber: ISTOCK/JANIFEST

Pertanyaan "kapan nikah?" bagi perempuan lajang mungkin terdengar horor, apalagi bagi yang sudah berkepala tiga.

Sementara perempuan yang telah bersuami akan menghadapi pertanyaan horor berikutnya---yang tidak jarang juga membuat jengah---yaitu "kapan punya anak?"

Apalagi bagi mereka yang sudah cukup lama menjalani biduk pernikahan.

Perlu rekan-rekan tahu, budaya kita adalah budaya kolektif. Masyarakat yang menganut budaya kolektif akan menganggap bahwa "urusanmu adalah urusanku". Jadi, jangan heran ketika orang-orang suka kepo tentang kehidupan pribadi kita. Termasuk soal "kapan nikah dan punya anak".

Berbeda dengan masyarakat negara-negara Barat yang lebih individualis. Di sana, Anda baru nikah umur 40 tahun pun nggak bakal dighibahin tetangga.

Dan nggak bakal ada yang menyindir Anda---baik secara halus atau terang-terangan---sebagai "perawan tua" gara-gara umur udah kepala tiga tapi belum nikah juga.

Barangkali pertanyaan yang biasa ditanyakan disini, seperti soal kapan nikah dan punya anak, bakal dianggap tidak sopan oleh mereka.

Budaya kolektif menempatkan masyarakat sebagai "polisi moral" atas hidup orang lain. Bahkan untuk urusan-urusan yang sebenarnya sudah menyangkut ranah privat.

Ini menyebabkan segala pandangan atau prinsip hidup kita harus mendapat validasi dari masyarakat. Secara sederhana, maksudnya adalah "diri dan hidup kita wajib memenuhi ekspektasi orang-orang".

Jika kita tidak menjalani hidup seperti mayoritas orang atau seperti ekspektasi mereka, lantas dihakimi bahwa hidup kita tidak "on the right track", melanggar kodrat, melanggar tradisi.

Buktinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun