Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memelihara Kebodohan Berpotensi Menimbulkan Dosa-Dosa Lainnya

1 September 2019   22:32 Diperbarui: 1 September 2019   22:38 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi-sumber : makeuseof.com

Coba sekarang kita cermati bersama. Berapa banyak berita bohong yang tersebar di media online maupun medsos per harinya? Berapa banyak orang yang kemudian percaya tanpa mengecek kebenarannya? Apa dampak yang ditimbulkan dari berita bohong itu? Anda pasti sepakat bahwa berita bohong telah berhasil membuat masyarakat di negeri ini "geger" bahkan sampai bertengkar. Anda tentu masih ingat kan, berapa banyak berita hoax politik yang dihembuskan ke publik selama pelaksanaan Pilpres 2019 kemarin? Anda tentu juga masih ingat kan, kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya beberapa minggu silam? Dan masih banyak kasus lainnya yang bikin "geger" masyarakat hanya gara-gara berita hoax atau berita bohong. 

Coba sekarang kita cermati bersama. Berapa banyak kasus intoleransi yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini? Berapa banyak orang yang melakukan kekerasan atas nama agama dan Tuhan? Berapa banyak orang yang gemar menuding kafir, bid'ah, sesat, ahli neraka hanya karena berbeda pendapat dengannya atau kelompoknya? Padahal orang yang mereka tuding sebagai kafir, bid'ah, sesat, ahli neraka adalah saudara seiman dan seagama sendiri. Parahnya lagi, mereka yang berbuat intoleran ini merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah semata-mata untuk membela agama dan Tuhannya. Dan dua contoh yang saya kemukakan ini adalah bagian dari kebodohan.

Manusia adalah Makhluk Berakal

Kita tahu bahwa posisi kepala berada di atas atau posisi tertinggi dari anggota tubuh lainnya. Posisi kepala ini tentunya lebih tinggi dari perut dan kemaluan kita. Dari sini saja kita harusnya paham bahwa akal menempati posisi yang tinggi dan penting dalam kehidupan kita sebagai manusia. Dengan akal, seharusnya manusia mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Kalau akalnya lebih condong pada kebaikan, ia akan mampu mengendalikan dirinya. Sedangkan akal yang lebih condong pada keburukan, membuat seseorang lebih memperturutkan hawa nafsunya. 

Kata "akal" sendiri berasal dari Bahasa Arab, yaitu aqala, ya'qilu, aqlan. Kata "akal" dalam Al-Qur'an sering disebutkan dalam bentuk kata kerjanya, yaitu, ya'qilun dan ta'qilun, yang masing-masing disebutkan sebanyak 22 dan 24 kali. Selain itu, ada pula kata na'qilu, qi'luha dan aqaluhu disebutkan masing-masing 1 kali. Hal ini menunjukkan bahwa Islam dan Al-Qur'an sangat menekankan penggunaan akal. Bahkan orang yang tidak mau menggunakan akalnya berpotensi mengantarkannya pada siksa neraka. Sebagaimana yang terdapat dalam Surat Al-Mulk ayat 10-11 berikut ini.

[10] Mereka berkata, "Sekiranya kami dahulu mendengar atau menggunakan akal kami, pasti kami tidak akan menjadi penghuni neraka yang menyala ini" [11] Mereka mengakui dosa-dosanya, tetapi rahmat Allah telah jauh dari penghuni neraka yang menyala.

Akal, selain dapat mengantarkan manusia pada pengetahuan dan kesimpulan ilmiah, juga dapat menguatkan keimanan seseorang. Misalnya, dengan memperhatikan alam semesta dan fenomena yang melingkupinya dapat menguatkan keyakinan kita akan kebesaran Allah SWT. Kita akan sadar bahwa kalau alam semesta saja sebesar ini, bagaimana dengan Sang Pencipta? Kesadaran ini kalau diteruskan lebih jauh bisa sampai pada kesimpulan bahwa masalah hidup kita sebesar apapun, pasti tidak lebih besar dari Allah. Kita akan sadar bahwa kita ini cuma sebutir debu (bahkan lebih kecil lagi) dihadapan-Nya sehingga malu rasanya kalau bersikap sombong. 

Hijrah Dari Kebodohan

ilustrasi-sumber : lovethispic.com
ilustrasi-sumber : lovethispic.com

Hari ini bertepatan dengan Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1441 H. Peristiwa hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah akhirnya ditetapkan sebagai awal patokan penanggalan hijriah. Kata "hijrah" berasal dari Bahasa Arab yang artinya meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat. Perintah berhijrah tertuang dalam salah satu ayat Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 218, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".  

Sebenarnya, hijrah sendiri memiliki banyak makna. Tidak hanya berpindah tempat saja. Jika dikaitkan dengan zaman sekarang, hijrah lebih bermakna mengubah diri menjadi lebih baik dan berusaha meninggalkan keburukan. Misalnya, yang sebelumnya suka menunda-nunda sholat, setelah hijrah sholatnya jadi lebih tepat waktu; yang sebelumnya suka nyinyir dan gosipin orang, setelah hijrah jadi lebih bisa menjaga lisannya; yang sebelumnya suka males-malesan, setelah hijrah jadi lebih rajin; yang sebelumnya suka boros, setelah hijrah jadi lebih bisa mengontrol keuangannya dan masih banyak lagi. 

Sebelumnya saya sudah jelaskan bahwa orang yang tidak mau menggunakan akalnya berpotensi mengantarkannya ke dalam siksa neraka. Jadi, dapat dikatakan bahwa memelihara kebodohan itu berbahaya.

Setidaknya ada 2 jenis orang bodoh di dunia ini. Pertama, orang bodoh yang sadar kalau dirinya bodoh. Kedua, orang bodoh yang tidak sadar kalau dirinya bodoh.

Orang jenis pertama, karena ia sadar kalau dirinya bodoh, dia akan belajar dan berusaha mencari tahu agar tidak bodoh lagi. Orang jenis kedua, karena ia tidak sadar kalau dirinya bodoh, berarti harus disadarkan dari kebodohannya.

Tapi, yang jadi masalah adalah orang bodoh, tidak sadar dirinya bodoh dan ketika disadarkan malah ngeyel. Udah ngeyel, pake sombong pula. Enaknya diapain coba orang kayak gini? 

Oiya, kalau Anda pernah memperhatikan keterangan profil saya, disitu tertulis "long-life learner". Nah, kenapa sih saya beri keterangan begitu? Itu karena saya terinspirasi dari kalimat,"menuntut ilmu dari buaian sampai liang lahat".

Bagi saya, namanya belajar nggak harus di sekolah atau kampus. Lha kalau belajar cuma di sekolah atau kampus, berarti setelah wisuda kita nggak perlu belajar lagi?

Terus gimana sama mereka yang nggak pernah mengenyam pendidikan di sekolah atau kampus? Apa mereka nggak bisa belajar juga layaknya anak-anak sekolahan atau kuliahan? Itu nggak adil namanya!

Padahal belajar dan mencari ilmu pengetahuan itu hak semua orang. Makanya selama saya masih sehat lahir-batin, saya ingin terus belajar apapun dan dari siapa pun. Belajar adalah cara saya untuk hijrah dari kebodohan. Dan Kompasiana secara tidak langsung telah menjadi "sekolah" buat saya. 

Sekian tulisan receh dari saya. Selamat malam. Selamat beristirahat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun