Mohon tunggu...
Andreas Lucky Lukwira
Andreas Lucky Lukwira Mohon Tunggu... wiraswasta -

mantan ketua angkatan, mantan kasir, mantan calo tiket sepakbola, mantan reporter tabloid kecantikan, mantan kernet Mayasari, mantan kordinator operasi bis malam....sekarang calo bis pariwisata plus EO tour kecil2an pengasuh akun @NaikUmum

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ricuh Suporter, Regulator yang Gagal Belajar Bertemu Komunitas yang Tak Terkontrol

24 September 2018   16:30 Diperbarui: 26 September 2018   12:46 1290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korban kericuhan antar suporter sepakbola nasional kembali jatuh.

Kali ini seorang Jakmania (suporter Persija) tewas dikeroyok, diduga oleh oknum suporter Persib Bandung. Dari video yang beredar terlihat korban tidak berdaya menghadapi puluhan bahkan ratusan orang di Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), minggu 23 September lalu. Dimana di hari yang sama digelar pertandingan El Clasico Indonesia, Persib Bandung vs Persija Jakarta.

Atas kejadian tersebut, aparat Polrestabes Bandung menahan beberapa pelaku yang terekam dalam video kemarin.

Regulator yang Tak Mau Belajar

Namun sesungguhnya kejadian tersebut tidak akan terjadi jika regulator, baik federasi hingga aparat keamanan, mau belajar. Karena kejadian tersebut bukanlah peristiwa pertama, terutama jika yang bertanding tim dengan rivalitas tinggi seperti Persib-Persija, Arema-Persebaya, ataupun duel 3 tim di Jogjakarta.

Federasi, sebagai pihak yang memiliki otoritas luas dalam sepak bola seakan abai dengan para suporter. Setelah bertahun-tahun masyarakat sepak bola nasional disuguhi dengan "perang" antar pengurus, terutama saat dualisme, yang tentunya menjadi sosialisasi nilai-nilai negatif bagi masyarakat sepak bola nasional, termasuk suporter. 

Bukan hanya perang di tingkat pengurus federasi nasional, namun juga pengurus sepak bola di tingkat klub atau asosiasi daerah. Itu baru soal dualisme, belum lagi soal Ketua Umum yang menjadi terpidana, tentunya turut pula menjadi pesan negatif untuk masyarakat sepakbola nasional.

Suporter pun seakan hanya menjadi alat para pengurus tersebut, baik secara ekonomi hingga politik. Secara ekonomi, suporter hanya dilihat sebagai sapi perah klub melalui tiket tanpa imbal balik berupa pengarahan bagaimana menjadi suporter yang baik. 

Secara Politik, suporter pun seringkali menjadi alat para pengurus klub atau federasi mendulang dukungan politik. Suporter Persik Kediri, dan yang terbaru Sriwijaya FC, tentu sangat paham bagaimana fanatisme mereka hanya menjadi alat pengurus mencari dukungan. 

Jangankan jika pengurus tersebut kalah, jika pengurus menang pun belum tentu para suporter mendapatkan nilai positif untuk menunjang mereka menjadi suporter yang santun dan beradab.

Revolusi PSSI, baik jilid 1 saat era PSSI vs KPSI maupun jilid 2 pasca sanksi FIFA yang tadinya diharapkan bisa menjadi momentum perbaikan sepak bola nasional pun mentah, Ketua Umum terpilih ternyata malah terus mencari jabatan lain. Alih-alih mendapatkan teladan positif, suporter minggu lalu justru mendapat teladan negatif ketika sang Ketua melakukan kekerasan terhadap suporter PSMS, klub dimana dirinya juga menjadi pemimpin daerah.

"Contoh Perilaku" tersebut langsung dipraktikan secara tunai oleh para oknum suporter di GBLA minggu lalu, tentunya dengan tingkat kekerasan yang lebih sadis.

Beralih ke aparat keamanan. Pihak Kepolisian sendiri sebenarnya tidak bisa dibilang 100% gagal dalam perpolisian di dunia sepakbola Nasional. Berhasilnya pengamanan final Piala Presiden 2015 dan final Piala Bhayangkara 2016 dimana suporter Persib bisa aman masuk Jakarta, basis suporter Persija. 

Bahkan pada final Piala Bhayangkara 2016 suporter Persib dan suporter Arema, 2 klub dengan basis suporter besar dan dengan hubungan kurang akur, bisa bersanding 1 stadion tanpa adanya bentrokan. Itu semua tentu bukan karena cara pengamanan yang konvensional, melainkan menggunakan cara-cara pengamanan yang modern seperti patroli cyber.

suratkabar.id
suratkabar.id
Sayangnya, keberhasilan pengamanan laga kritis seperti tersebut tidak selalu bisa di-copy paste dengan baik, salah satunya kejadian di GBLA kemarin. Penulis masih dengan mudah melihat banyaknya tulisan-tulisan bernada provokatif dari kedua belah pihak. 

Bahkan video kekerasan terhadap korban masih sempat disebarkan melalui media sosial. Meski tertangkapnya para pelaku pengeroyokan juga tidak lepas dari peran teknologi cyber, namun sulit untuk mengatakan aparat keamanan tidak kecolongan kemarin.

Suporter dan Kontrol Sosial

Sama seperti entitas lain, dalam suporter sendiri sebenarnya ada nilai-nilai yang berlaku, baik positif maupun negatif. 

Sutherland dalam bukunya Principle of Criminology, berpendapat bahwa perilaku kriminal adalah perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial. Artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Maka suporter sebagai suatu kelompok tentu menciptakan suatu interaksi bagi anggota kelompoknya. 

Pembelajaran yang didapat seorang suporter dari kelompoknya tidak hanya sekedar terbatas pada nilai-nilai mendukung tim secara baik, namun juga termasuk pembelajaran terkait perilaku menyimpang. Diantaranya tentang konsep siapa kelompok suporter yang dianggap lawan dan siapa suporter yang dianggap kawan.

Selain sisi di atas, suporter memiliki ikatan sosial yang kuat didalam masing-masing kelompok suporter tersebut. Hal ini terlihat dari solidaritas yang terjadi jika salah satu anggota kelompok mereka mendapat perlakuan tertentu. Ikatan sosial sendiri dikelompokkan oleh Travis Hirschy menjadi 4 tipe yakni attachment, komitmen, keterlibatan, dan kepercayaan (Thompson, 1991). 

Semakin besar ikatan terhadap ikatan sosial, maka semakin kecil seorang anggota kelompok (suporter) untuk melakukan penyimpangan. Dalam tingkat fanatisme, suporter Persib, seperti juga suporter Persija, Arema, dan Persebaya, memiliki tingkat fanatisme yang tinggi, maka bentuk keterikatan mereka terhadap identitas sebagai suporter pun tinggi.

Sayangnya, pembelajaran nilai-nilai dan keterikatan yang besar diantara suporter jarang sekali dimanfaatkan pihak terkait suporter untuk mengarahkan suporter menuju ke arah perilaku yang positif. Padahal potensi tersebut sangat besar. Sebagai contoh, jika terjadi bencana alam hampir semua kelompok suporter kompak mengumpulkan bantuan. Atau saat mereka mendukung Tim Nasional, hampir semua kompak.

Para Pengurus Jadilah Orang Tua yang Baik Bagi Suporter

Dari masalah-masalah yang menjangkiti para stakeholder sepak bola nasional, kita bisa mengambil pembelajaran (jika mau) agar kericuhan suporter bisa ditekan.

Pengurus federasi, pengurus klub, dan asosiasi, berperanlah sebagai orang tua yang baik, yang memberikan teladan positif kepada para masyarakat sepak bola nasional.

Jangan mencari suporter saat butuh dukungan timnas atau klub saja, lebih lebih, jangan mencari suporter hanya disaat mendekati Pilkada atau Pemilu saja. 

Terus sosialisasikan pesan positif, bukan cuma dalam bentuk penyuluhan yang hanya 1-2 hari atau bahkan hanya 1-2 jam dalam diskusi half day. Melainkan terus memberikan teladan dalam perilaku sehari-hari. 

Tidak berseteru sesama pengurus, tidak ngotot menjabat meski jadi terpidana, lebih-lebih tidak melakukan kekerasan kepada suporter.

Koreksi untuk Aparat Keamanan

Keberhasilan Final Piala Presiden 2015 dan Piala Bhayangkara 2016 harus menjadi model dalam setiap pengamanan pertandingan sepakbola. Pengamanan tidak bisa lagi hanya bersifat konvensional, yakni pengamanan fisik dengan menempatkan pasukan keamanan dalam jumlah banyak, melainkan memanfaatkan pula teknologi. 

Adanya patroli siber sangat efektif untuk meredam pihak-pihak yang ingin memperkeruh suasana, lebih-lebih patroli siber juga ampuh untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku kejahatan karena banyak kejadian pihak yang melakukan kericuhan justru teridentifikasi karena postingan di dunia maya.

Pengamanan suporter pun tidak bisa hanya melibatkan 1-2 wilayah kepolisian. Keberhasilan pengamanan mobilisasi puluhan ribu suporter Persib ke Jakarta pada final Piala Presiden 2015 dan final Piala Bhayangkara 2016  tentu bukan hanya prestasi Polda Jabar atau Polda Metro saja. Melainkan kedua Polda beserta beberapa Polres yang dilintasi rombongan tersebut.

Sebagai gejala sosial yang posmodern, suporter perlu juga penanganan khusus yang luar biasa.

Penanganan Pada Diri Suporter Itu Sendiri

Sedikit kita bahas kembali bahwa dalam suporter sendiri ada pembelajaran. Maka jadikanlah potensi tersebut sebagai sarana belajar mana nilai-nilai positif dan negatif, mana yang boleh dilakukan mana yang tidak. Apalagi banyak suporter belia yang tentunya akan belajar banyak dari apa yang dilakukan para seniornya.

Selain terjadi proses belajar, dalam suporter juga terdapat ikatan. Maka ikatan yang ada, mesti dimanfaatkan sebesar-sebesarnya oleh "pentolan" atau pemimpin kelompok suporter untuk mengendalikan anggota kelompoknya untuk tidak berbuat kriminal. Misalnya, jangan melakukan hal negatif ketika menggunakan atribut,

Konon omongan pentolan suporter jauh lebih didengar suporter ketimbang himbauan pengurus federasi atau petugas keamanan. Maka baik buruknya kelompok suporter tidak lepas dari apa yang diarahkan para pentolannya.

Jika masing-masing pihak mau mengambil peran dengan baik, maka potensi kericuhan bisa diredam. Korban-korban pun bisa diminimalisir, atau jika bisa dihilangkan sama sekali.

Jadikan rivalitas hanya sebagai bumbu kompetisi, bukan sebagai alasan melakukan kekerasan.

Andreas Lucky Lukwira
Penikmat Sepakbola Indonesia
Pernah Meneliti Suporter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun