Mohon tunggu...
Lukman Hakim Dalimunthe
Lukman Hakim Dalimunthe Mohon Tunggu... Penulis - Founder Perpus Rakyat

Menulis untuk Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana "Post Truth" Menciptakan Radikalisme di Kampus?

27 Januari 2020   14:28 Diperbarui: 27 Januari 2020   19:02 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: serikatnews.com

Indonesia adalah salah satu negera paling unik di dunia. Beragamnya suku, ras, dan agama/kepercayaan, membuat Indonesia terlihat unik di mata dunia.

Akhir-akhir ini, ada beberapa kejadian yang mengkhawatirkan keutuhan kebhinekaan yang Indonesia miliki. Sebut saja kasus radikalisme, intoleransi dan menjamurnya hoax.

Ketiga poin tersebut menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Karena pada dasarnya, kejadian itu diakibatkan piciknya atau rendahnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat bahkan mahasiswa Indonesia. Mari kita urai satu per satu:

Radikalisme dalam pengertian yang kita pahami selama ini adalah suatu ideologi yang  merasa benar sendiri dan menganggap yang berbeda darinya merupakan salah atau kafir. Maka ketika sudah kafir, halal darahnya untuk dibunuh. Radikalisme dan intoleransi ini biasanya berbarengan.

Para pelaku tersebut pun berasal dari orang yang mengaku "Islam". Padahal, sama sekali Islam tak pernah mengajarkan hal seperti itu pada ummat-nya. Para mahasiswa dan dosen juga ikut-ikutan terpapar radikalisme ini.

Menurut Azyumardi Azra, para akademisi yang terpapar radikalisme diakibatkan oleh 4 hal:

Pertama, sebelum menjadi dosen, mereka sudah aktif di organisasi-organisasi yang memang cenderung ke kanan.

Kedua, kalau mereka tidak aktif dalam organisasi radikal, mungkin karena keilmuannya. Keilmuan eksakta, misalnya. Ilmu alam itu cenderung melihat dunia sebagai hitam-putih. Jadi, orang-Islam yang cenderung hitam putih lebih mudah biasanya terpapar atau menerima ide-ide radikalisme.

Ketiga, mungkin dosen itu tidak memiliki pemahaman Islam yang komprehensif, mengenai macam-macam lah, mengenai politik, ekonomi atau mungkin mengenai fikih atau soal teologi.

Keempat, mereka tidak paham isu-isu politik Indonesia; misalnya, menyangkut katakanlah demokrasi. Ada yang bilang demokrasi tidak sesuai dengan politik Islam; dia dengan cepat menerima itu. Atau, misalnya ekonomi Indonesia sudah neoliberal: "Kita sedang dijajah." Karena dia tidak paham soal politik dan ekonomi Indonesia, dia terima saja argumen itu, sehingga kemudian mudah menerima paham politik dan ekonomi yang radikal.

Dalam pandangan Azyumardi Azra, radikalisme ini berkembang di kampus diakibatkan tidak ada organisasi mahasiswa lain yang dapat mengimbangi gerakan organisasi yang cenderung ke kanan tersebut. Ini terbukti, dengan banyaknya Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) di kampus umum negeri yang dikuasai oleh organisasi radikal.

Seharusnya HMI, PMII, IMM, GMNI dan organisasi mahasiswa moderat ikut serta membendung gerakan radikalisme di kampus. Apalagi setelah dibolehkannya OKP masuk kampus.

Pada survei Februari-April 2019 yang lalu, Setara Institut merilis 10 kampus yang terpapar radikalisme, yakni UI, ITB, UGM, UNY, UIN Jakarta dan Bandung, IPB, UNBRAW, UNIRAM, dan UNAIR. Saya yakin, selain kampus-kampus tersebut, masih banyak kampus lain yang terpapar radikalisme.

Mahasiswa dan dosen yang terpapar radikalisme ini biasanya memiliki wacana seperti berpegang teguh pada Alquran, Islam terdzolimi, Islam harus waspada. Mereka hanya meyakini dan membenarkan yang mereka pelajari dan cenderung waspada dengan yang berpikir berbeda.

Lalu apa sebenarnya hal paling fundamental terhadap kejadian-kejadian tersebut? Menurut hemat penulis, post truth atau kebohongan telah merasuki pengetahuan mereka. Kita hidup di zaman yang mana orang lebih percaya dengan hal-hal emosional ketimbang ilmiah. Ini lah yang disebut dengan zaman post truth.

Pada tahun 2016, kamus oxford menasbihkan kata "post truth" sebagai "kata tahun ini". Dari kamus oxford dijelaskan, kata ini untuk mendefinisikan situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan dengan fakta-fakta obyektif.

Sementara itu Ralph Keyes dalam bukunya The Post-truth Era (2004) dan comedian Stephen Colber mempopulerkan istilah yang berhubungan dengan post-truth yaitu truthiness yang kurang lebih sebagai sesuatu yang seolah-olah benar, meski tidak benar sama sekali.

Dengan kata lain, konsep yang sudah mapan menjadi tidak penting atau tidak relevan. Kalau saya boleh membuat defenisi sendiri, post truth itu sama dengan bullshit. Sebagian besar penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016: keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

Anak kandung post truth adalah hoax. Ini menjadi andalan mereka. Banyangkan saja, setiap detiknya pasti ada saja hoax yang dibuat untuk menjatuhkan lawan politik atau ummat agama lain. Saya sering sekali melihat mahasiswa di facebook atau instagram yang ikut serta menyebarkan hoaks. Ini sangat kacau dan memalukan.

Bukannya seharusnya mahasiswa itu berpikir rasional, obyektif, dan ilmiah?

Apalagi yang bisa diharapkan dari kalangan akademis jika mereka saja terpapar radikalisme? Bahaya sekali ini. Akademisi saja terpapar, apalagi rakyat biasa. 

Para penganut ajaran radikalisme dan intoleransi ini biasanya mengonsumsi pengetahuan sempit tentang keislaman dan keindonesiaan. Ini disebabkan mereka mengonsumsi hoaks dari guru, dosen dan media sosial. 

Biasanya, para penganut radikalisme dan intoleransi ini tidak mau membandingkan pelajaran agama yang diberikan oleh gurunya. Sehingga yang ia dengar dan pelajari diterima mentah-mentah. 

Silahkan lacak mengenai ciri-ciri manusia yang terpapar radikalisme dan intoleransi selain yang telah disebutkan di atas.

Biasanya hoaks itu terkait isu agama dan politik (SARA). Mereka bermain dengan emosional dan mematikan nalar berpikir masyarakat.

Ciri-ciri hoaks baca di sini 

Di era media sosial ini, semuanya bisa tersebar dengan cepat dan dinikmati oleh jutaan masyarakat. Dengan satu klik maka hoaks tersebar.

Ada beberapa yang menyebabkan akar kelahiran post truth ini; pertama, karakter manusia yang cendrung menerima dan membenarkan apa saja yang cocok/sesuai dengan pandangan dunia atau ideologi yang dimilikinya.

Kedua, orientasi bisnis dan logika kapitalisme lembaga-lembaga media. Ketiga, komodifikasi hampir semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan, agama, kesehatan, dan lain sebagainya.

Keempat, kemajuan teknologi informasi yang asimetris dengan kapasitas adaptasi pemerintah dan masyarakat.

Di tengah kemajuan teknologi ini, kita harus bisa memverifikasi dan obyektifikasi seluruh hal yang kita terima di media sosial. Di sini, kita dituntut kecerdasan dalam menggunakan kecanggihan zaman ini.

Perlunya belajar epistemologi (filsafat) dan kaidah-kaidah jurnalistik sebelum mengonsumsi informasi atau pengetahuan yang kita terima.

Kebhinekaan yang dimiliki negeri ini bisa saja hancur lebur disebabkan oleh post truth.

Kita tidak bisa meninggalkan kemajuan zaman, maka kita harus bisa mengendalikan sikap dalam bermedia sosial.

Radikalisme, intoleransi, dan hoax menjadi musuh kita bersama. Kepentingan kita untuk menjaga kebhinekaan dan negara ini. Kita mengetahui, bahwa sebuah ideologi itu memiliki tujuan tertentu. Maka kasus di atas juga memiliki tujuan, yaitu ingin menghancurkan kebhinekaan Indonesia.

Referensi: 1 - 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun