Mohon tunggu...
Lukman Hakim Dalimunthe
Lukman Hakim Dalimunthe Mohon Tunggu... Penulis - Founder Perpus Rakyat

Menulis untuk Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bagaimana "Post Truth" Menciptakan Radikalisme di Kampus?

27 Januari 2020   14:28 Diperbarui: 27 Januari 2020   19:02 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: serikatnews.com

Dalam pandangan Azyumardi Azra, radikalisme ini berkembang di kampus diakibatkan tidak ada organisasi mahasiswa lain yang dapat mengimbangi gerakan organisasi yang cenderung ke kanan tersebut. Ini terbukti, dengan banyaknya Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) di kampus umum negeri yang dikuasai oleh organisasi radikal.

Seharusnya HMI, PMII, IMM, GMNI dan organisasi mahasiswa moderat ikut serta membendung gerakan radikalisme di kampus. Apalagi setelah dibolehkannya OKP masuk kampus.

Pada survei Februari-April 2019 yang lalu, Setara Institut merilis 10 kampus yang terpapar radikalisme, yakni UI, ITB, UGM, UNY, UIN Jakarta dan Bandung, IPB, UNBRAW, UNIRAM, dan UNAIR. Saya yakin, selain kampus-kampus tersebut, masih banyak kampus lain yang terpapar radikalisme.

Mahasiswa dan dosen yang terpapar radikalisme ini biasanya memiliki wacana seperti berpegang teguh pada Alquran, Islam terdzolimi, Islam harus waspada. Mereka hanya meyakini dan membenarkan yang mereka pelajari dan cenderung waspada dengan yang berpikir berbeda.

Lalu apa sebenarnya hal paling fundamental terhadap kejadian-kejadian tersebut? Menurut hemat penulis, post truth atau kebohongan telah merasuki pengetahuan mereka. Kita hidup di zaman yang mana orang lebih percaya dengan hal-hal emosional ketimbang ilmiah. Ini lah yang disebut dengan zaman post truth.

Pada tahun 2016, kamus oxford menasbihkan kata "post truth" sebagai "kata tahun ini". Dari kamus oxford dijelaskan, kata ini untuk mendefinisikan situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan dengan fakta-fakta obyektif.

Sementara itu Ralph Keyes dalam bukunya The Post-truth Era (2004) dan comedian Stephen Colber mempopulerkan istilah yang berhubungan dengan post-truth yaitu truthiness yang kurang lebih sebagai sesuatu yang seolah-olah benar, meski tidak benar sama sekali.

Dengan kata lain, konsep yang sudah mapan menjadi tidak penting atau tidak relevan. Kalau saya boleh membuat defenisi sendiri, post truth itu sama dengan bullshit. Sebagian besar penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016: keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

Anak kandung post truth adalah hoax. Ini menjadi andalan mereka. Banyangkan saja, setiap detiknya pasti ada saja hoax yang dibuat untuk menjatuhkan lawan politik atau ummat agama lain. Saya sering sekali melihat mahasiswa di facebook atau instagram yang ikut serta menyebarkan hoaks. Ini sangat kacau dan memalukan.

Bukannya seharusnya mahasiswa itu berpikir rasional, obyektif, dan ilmiah?

Apalagi yang bisa diharapkan dari kalangan akademis jika mereka saja terpapar radikalisme? Bahaya sekali ini. Akademisi saja terpapar, apalagi rakyat biasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun