Mohon tunggu...
Lukas SungkowoJoko Utomo
Lukas SungkowoJoko Utomo Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis buku

Katekis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru-Kreatif-Guru Penulis

23 Januari 2023   15:49 Diperbarui: 23 Januari 2023   15:55 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era digital yang berkembang begitu dinamis, manusia membutuhkan berbagai keterampilan agar mampu menghadapi kompetisi, menjadi pribadi berkualitas dan bisa terlibat dalam mengatasi berbagai persoalan dalam dunia.  Salah satu keterampilan hidup tersebut adalah berfikir kreatif.  Pemikiran kreatif ini akan nampak dalam sikap, tindakan dan cara kita dalam memecahkan berbagai persoalan hidup, termasuk didalamnya persoalan yang ada dalam dunia pendidikan.

Fakta Pendidikan Kita            

Perkembangan dunia, terlebih bidang teknologi yang begitu pesat mau tidak mau harus diikuti dengan berbagai kreativitas dalam bidang pendidikan sehingga setiap pribadi yang terlibat sebagai pengambil kebijakan atau pelaksana utama proses pembelajaran, dalam hal ini para guru tidak ketinggalan zaman dan apa yang disampaikan menjadi bermakna bagi peserta didik.  Namun tetap disadari bahwa melaksanakan proses pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik bukan hal yang mudah.  

Ada banyak kendala yang dihadapi guru dan peserta didik dalam menyampaikan dan menyerap pelajaran, antara lain perbedaan latar belakang, rentang usia antara peserta didik yang jauh, dan cara berfikir yang berbeda.  Di sinilah kreativitas tersebut dibutuhkan, yaitu untuk mengatasi berbagai kendala yang ada sehingga tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan guru sebelum melaksanakan proses pembelajaran dapat tercapai.    

Namun pada kenyataannya, proses pendidikan dan pembelajaran di Indonesia tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan.  Hal ini karena sebagian dari para guru di Indonesia mengalami kemunduran dalam berfikir dan bertindak kreatif ketika sudah menjadi guru dan berdiri di depan kelas.  Ini semua nampak dari bagaimana mereka sudah cukup puas menyampaikan materi ajar dengan menggunakan buku-buku teks yang sudah tersedia.  

Para guru tidak tergerak untuk mengungkapkan ide, kreativitas maupun kritik atas berbagai kelemahan dari buku yang dipergunakan dan menuliskannya menjadi buah karya sendiri, baik dalam bentuk buku, modul ajar, atau berbagai bentuk tulisan lain yang mencerminkan bahwa mereka merupakan pribadi yang kreatif.  Fakta lainnya adalah banyak guru yang dalam menguji pemahaman peserta didik tentang materi yang telah mereka ajarkan, menggunakan lembar kerja yang disiapkan oleh orang lain yang nyata-nyata tidak memahami peserta didik secara spesifik.  

Tidak berhenti sampai di sini, bahkan untuk persiapan mengajar saja masih ada guru yang tidak mau menyempatkan diri membuatnya.  Inilah bukti konkrit terhentinya kreativitas saat sudah menjadi guru sekaligus bukti bahwa dunia pendidikan kita tidak mampu memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada saat ini. Lebih khusus lagi, perkembangan teknologi tidak mampu mendorong dan memotivasi para guru untuk menuliskan ide, gagasan dan pemikiran ke dalam sebuah buku atau karya tulis lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk proses pembelajaran agar hasilnya lebih optimal.

Menulis adalah cerminan eksistensi diri

Guru yang jarang menulis seperti yang telah dipaparkan di atas menjadikan dirinya sebagai guru yang berwawasan sempit.  Hal ini karena biasanya, guru yang jarang menulis ada kecenderungan jarang membaca buku.  Inilah yng terjadi pada sebagian besar masyarakat Indonesia.  Bahkan menurut UNESCO, minat baca orang Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu hanya 0,001% dan masuk urutan kedua di dunia dengan minat baca paling rendah. 

Jika kondisi seperti ini juga terjadi di kalangan guru, maka guru Indonesia tidak akan menjadi guru yang hebat, profesional.  Dampak lanjutannya, akan berpengaruh pada pelaksanaan proses pembelajaran di kelas. Mereka melaksanakan proses pembelajaran hanya sebatas melaksanakan kewajiban dan tuntutan kerja, sehingga tidak jarang, mengajar dirasa sebagai sebuah beban.  

Mengajar tidak dipersiapkan secara baik karena mungkin persiapan yang dibawa merupakan karya dan tulisan orang lain yang dianggap hanya sebagai pelengkap administrasi belaka.  Mengajar dianggap sebagai rutinitas yang tidak menarik dan hanya sebagai sarana untuk mendapatkan upah, sehingga kerinduan satu-satunya selama proses pembelajaran adalah ketika mendengar bunyi bel selesai pelajaran.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun