Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bila Senja Tak Berani Menghalau Malam

30 Juli 2018   16:52 Diperbarui: 31 Juli 2018   00:38 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lukisan affandi: hariansejarah.id

Tapi manut dawuh para ulama untuk mengetahui bagaimana cara ibadah yang benar, tetap dalam garis besar tuntunan rosul juga penting. Bagaimana mungkin kita bisa meniru rosul yang hidup dari jaman yang kita sendiri bingung seperti apa membayangkannya, diperparah lagi disana gak ada warung kopi, android, laptop, jam tangan, microphone, dan keran air. Kita butuh pemaknaan yang halus agar tetap esensinya dan substansinya mirip betul, tak membuang sama sekali dari rosul."

"Kalau modal niat tapi gak terlalu paham syariat bagaimana." Orang kedua yang tadi dipotong terus percakapannya oleh orang kedua, bertanya.

"Ya gak bisa dibenarkan juga. Tapi niat itu juga sudah menunjukkan kebaikan kita dihadapan Tuhan, terlebih-lebih niatnya juga berpengaruh baik bagi perilakunya." Kata orang ketiga.

"Jangan sampai dong, kalau bisa. Jangan sampai jadi, kan dulu itu aku lupa pasang." Nada bicara seorang pria lain, bukan dari arah barat tempat meja 3 pria yang membahas soal agama tadi. Ah aku lupa suaranya tepat dari meja dari perempuan yang duduk di sebelah selatan punggungku yang bicara soal hamil tidaknya dirinya. Masih tetap penasaran mereka ini pasangan yang telah berkeluarga atau masih pacaran. 

Rasa penasaran ini kembali menyita perhatian ku dari percakapan tentang agama yang tadi. Bolak-balik. Agama ke persetubuhan, persetubuhan ke agama, sudah terhitung 2 kali, cerita dari penggalan hidup seseorang saling silang sengkarut, menggerumuti rasa penasaranku. Lelah, dan tidak penting sebenarnya, tapi bikin penasaran, mau gimana lagi. 

Hidup bukan sekedar memilih turus konsekuensi dengan pilihan. Tapi hidup tentang terima dan tidaknya dirimu pada situasi dimana kau terjebak dan tak mampu mengelak.  "Padahal sudah tak keluarin di luar loh, tapi kok masih ada yang masuk ya. Pokonya kau belum siap."

"Kok gitu sih?" Percakapan mendadak berhenti setelah tak lama si perempuan menangis tersedu-sedu dibangku cafe tampat ia dan pria, entah pacar atau suaminya bercengkrama menikmati rindunya angin sore melipir kening. Suara tak karuan dan sesekali hentak meja, terdengar pula denting gelas yang ngguling dari penampangnya, semuanya begitu mendadak terdengar. 

Menandakan meja di selatan punggungku orangnya hendak memungkasi agenda ngopinya, tapi dengan begitu tergopoh, bak tersengat rasa kaget, seorang perempuan terdengar menangis, sepertinya suara itu berasal dari meja di selatan punggungku, pasangan itu bergegas membayar dan pamit dengan cepat, nampak begitu tiba-tiba. 

Menurut informasi dari bartender yang merangkap sebagai kasir, sekaligus sebagai koki pembuat kopi, perempuan tadi menangis lantaran dapat kabar mendadak karena neneknya mendadak meninggal, yang membuat perempuan itu bertambah histeris lagi, neneknya meninggal sebelumnya tadi pagi barusan merayakan hari ulangtahun yang kesekian, tukang kopi dan kasir itu lupa katanya. Setelah mendapat broadcast bergambar ternyata neneknya meninggal denga cara tak wajar tersedak buah cerry yang menjadi hiasan roti hadiah ulang tahunnya. 

Foto itu menjadi broadcast, yang menghalilintar menggelar memapras jantung perempuan itu. Tapi tidak dengan pria yang aku tak tau ia suaminya atau sekedar pacarnya, yang telah meng-hohohihe dirinya. 

Ia tersentak kaget nyaris tertawa, bagaimana ku tahu, aku mendengar jelas dengan kepala dan telingaku, tanpa mata. Laki-laki itu nyaris tertawa terbahak-bahak, nyaris terpingkal pula, setelah android perempuan itu disahutnya dengan maksud meneliti apakah gerangan musabab yang membuat gundah kekasihnya. Aku lupa ini menjelang Isya, bukan lupa tapi terlampau batas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun