Belakangan isu mengenai lesbian, gay, biseks dan transgender (LGBT) kembali ramai diperbincangkan, terutama di media sosial. Itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penolakan permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Banyak pihak yang kemudian menuding bahwa dengan keputusan itu berarti MK telah mendukung dan melegalkan LGBT. Tudingan itu dibantah Juru Bicara MK Fajar Laksono.
"Tidak ada satu kata pun dalam amar putusan dan pertimbangan Mahkamah yang menyebut istilah LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender), apalagi dikatakan melegalkannya," ujar Fajar melalui keterangan tertulisnya, Senin (18/12/2017) dikutip dari Kompas.com.
LGBT sampai kekinian masih dianggap tabu oleh masyarakat Indonesia. Sebagian pihak menilai orientasi seks semacam ini menyimpang karena tidak sesuai dengan norma kesusilaan budaya ketimuran dan norma agama.Â
Manusia, sebagai makhluk hidup sujatinya diciptakan menjadi dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan untuk saling berpasangan, tetapi LGBT dengan orientasi seksnya justru merusak tatanan yang dikodratkan Tuhan ini. Itulah kemudian yang dijadikan dasar sebagian masyarakat menilai perilaku demikian menyimpang.
Mereka tidak jarang tanpa dasar ilmiah menyimpulkan sendiri kalau LGBT merupakan gangguan jiwa. Benarkah demikian? Kesimpulan semacam ini sampai kini masih menjadi perdebatan di kalangan dokter jiwa. Diberitakan BBC, Asosiasi Psikiatrik Amerika Serikat (APA) pada 2016 lalu pernah menyurati Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) untuk meninjau ulang pengkategorian LGBT sebagai masalah kejiwaan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi LGBT. Antara lain bisa karena dipengaruhi interaksi genetik, hormon dan faktor lingkungan. Selama ini belum ada bukti saintifikasi kalau orientasi seks semacam itu adalah kehendak bebas atau pilihan dibandingkan takdir.
Masyarakat penolak juga berasumsi kalau orientasi seks semacam ini merupakan pilihan bukan takdir. Mereka beranggapan LGBT sebagai penyakit menular yang harus dihindari. Upaya menyembuhkannya melalui terapi konversi justru akan lebih membahayakan karena bisa menyebabkan orang tersebut mengalami depresi, kecemasan, mengurung diri, menurunnya kemampuan bersosialisasi hingga kecenderungan bunuh diri.
Ketua PDSKJI dr Danardi Sosrosumihardjo kepada BBC mengatakan kalau LGB sesuai Undang-undang Nomor 18 tahun 2014 termasuk dalam kelompok Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Artinya, memiliki resiko mengalami gangguan jiwa. Berbeda klasifikasi dengan Transgender yang dimasukkan sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang artinya sudah mengalami gangguan jiwa.
Klasifikasi semacam ini di dalam medis kejiwaan lebih untuk mengetahui gangguan psikologisnya, bukan orientasi seksualnya. "Dalam profesi kami, untuk memahami lesbian, gay, dan biseksual, orientasi seksual bukan menjadi fokus diagnosisnya. Fokus diagnosis adalah apabila terjadi gangguan psikologis, gangguan perilaku pada kelompok lesbian, gay, dan biseksual. Gejala perilaku bisa terjadi dari berbagai hal, apakah itu aspek biologi, aspek psikologi, bisa aspek sosialnya. Orientasi seksual justru bukan yang menjadi fokus masalahnya," papar Dr Danardi.
Lantas bisakah LGBT disembuhkan? Masih dilansir dari BBC, Ahli Neurologi, dr Ryu Hasan mengatakan tidak bisa karena bukan penyakit dan gangguan kejiwaan. Orientasi seksual menurutnya tidak bisa dirubah. "Menurut dunia kedokteran saat ini, lesbian, gay, dan biseksual bukanlah penyakit dan bukanlah gangguan. Jadi tidak perlu disembuhkan," katanya. "Kecuali jika orang tersebut merasa tidak nyaman, itu bisa dibilang gangguan dan baru dilakukan terapi."
Stigma negatif selama ini selalu melekat di dalam diri LGBT. Seringkali mereka mendapatkan penolakan mulai dari lingkungan keluarga sampai lingkungan sosial masyarakat setempat.Â