Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Kemerdekaan LGBT sebagai Manusia Marjinal

12 Agustus 2017   19:08 Diperbarui: 13 Agustus 2017   12:45 2185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Denpasar Now: Aksi Wargas saat ikut gerak jalan dewas putri, Kamis (10/8/2017) lalu

Wargas adalah satu potret kelompok Lesbian, Gay, Biseks, Transgender (LGBT) yang selama ini menjadi kelompok marginal. Mereka sudah terbiasa dipandang sebelah mata, dijauhi sampai dikucilkan karena image yang sudah terlanjur buruk dan bahkan dianggap sebagai aib. Tidak mudah bagi mereka dapat diterima di tengah masyarakat kerena oleh hampir semua agama LGBT dilarang. Mereka akhirnya memilih untuk sembunyi-sembunyi sekadar untuk menjadi LGBT.

Wargas adalah salah satu komunitas LGBT yang kini telah diterima masyarakat. Namun perjuangan mereka tidak mudah, perlu waktu yang panjang meyakinkan masyarakat bahwa mereka bukan manusia jahat. Namun tidak sedikit komunitas LGBT di tempat lain yang tidak diterima mulai dari keluarga sampai masyarakar sekitar.

Padahal LGBT bagi mereka sebenarnya bukanlah pilihan. Kalau seandainya disuruh memilih, mereka sebenarnya ingin menjadi manusia normal seperti manusia lainnya. Namun takdir berkata lain, sebagian dari mereka dari lahir sudah dikodratkan dengan berjiwa LGBT. Sebagian lagi karena pengalaman buruk. Mulai dari menjadi korban perkosaan sesama jenis semasa kecil sampai korban putus cinta.

Mereka bukannya tidak ada upaya untuk berubah menjadi manusia normal, tetapi itu sangatlah sulit. Seringkali mereka mulai dari lingkungan keluarga sudah mendapat penolakan ketika tahu LGBT. Keluarga akhirnya bersikap memaksa mereka kembali menjadi manusia normal, tidak jarang disertai kekerasan, tanpa tahu apa yang sedang dirasakan LGBT.

Itu belum penolakan di lingkungan masyarakat sekitar sampai lingkungan yang lebih luas lagi. Hinaan, cacian, makian sudah biasa mereka dapatkan ketika masyarakat tahu bahwa mereka LGBT. Seorang waria pernah mengatakan bahwa sebutan bencong untuk mereka itu sungguhlah menyakitkan. Apalagi stigma di masyarakat yang sering menyebut bencong pada seorang lelaki lemah.

Selama ini LGBT dianggap tabu karena tidak sesuai dengan norma-norma sosial dan agama di masyarakat. Asing saja melihat pria yang biasanya mencintai wanita kok malah mencintai sesama pria. Sebagai masyarakat awam kita jijik saja melihatnya. Padahal banyak faktor yang menyebabkan mereka demikian. Salah-satunya faktor yang tidak berasal dari diri sendiri. Menolak kodrat sekeras apapun untuk menjadi tidak LGBT akan sangat susah.

Banyak di antara LGBT yang akhirnya memutuskan untuk tetap menjadi LGBT. Mereka tidak kuasa melawan kodrat yang dianggap menyimpang dan lebih nyaman tetap bertahan dengan kodrat itu. Manusia gay itu atau lesbian tercipta dua jenis, maskulin dan feminim. Mereka yang maskulin akan menyukai yang feminim meskipun sesama pria. Pria gay maskulin sekilas tidak akan tampak kalau dirinya seorang gay karena dia bergaya maskulin selayaknya pria umumnya. Namun bagi mereka yang feminim akan terlihat mencolok karena sebagai pria gaya mereka selayaknya wanita. Kita yang awam suka menyebutnya waria, banci sampai sekasarnya bencong.

Tiga pekan lalu Universitas Brawijaya (UB) Malang mencak-mencak begitu mengetahui ada grup facebook bernama Persatuan Komunitas Gay Universitas Brawijaya. Rektor UB, Prof Dr Mohammad Bisri MS tidak bisa menerima kenyataan kalau kabar itu sudah beredar luas di dunia maya dengan screenshot grup facebook itu yang viral. 

Grup facebook bernama Komunitas Gay Universitas Brawijaya Malang beranggotakan 286 akun itu sebenarnya sudah disetting sebagai grup tertutup yang artinya tidak dapat diakses secara umum dan hanya anggota grup saja yang bisa mengaksesnya dan beraktivitas di dalamnya. Di dalamnya diterangkan tujuan dibuatnya grup ini untuk saling berbagi pengetahuan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dan seks. Selain itu, aturan ketat juga diberlakukan kepada para anggota yang tergabung di dalamnnya. Salah satunya anggota dilarang memposting sesuatu yang mengandung unsur pornografi.

UB dalam beberapa kesempatan menyebut keberatan mereka karena nama UB dicatut sebagai nama komunitas tersebut. Namun sebenarnya tidak demikian kalau anggota komunitas gay adalah pria gay mahasiswa UB. Mahasiswa sekalipun gay adalah bagian dari civitas akademika UB. Mereka punya Kartu Mahasiswa dan bayar setiap semester. Yang perlu diluruskan adalah nama UB bukan monopoli rektorat. Siapapun berhak memakai nama UB selama masih menjadi warga kampus ini, sekalipun mahasiswa abadi yang masih belum lulus sampai 14 semester.

Bisri dan kolega-koleganya (dkk) lalu sepakat membentuk Tim Advokasi Hukum UB yang diketuai Dr Prija Djatmika SH MHum untuk menghadapi gerombolan gay ini. Bagi Prija UB dengan tegas menolak LGBT, entah apa dasarnya. Situasi semakin gawat ketika UB sepakat melaporkan gay ini ke polisi. Dasarnya karena grup facebook mencantumkan nama Universitas Brawijaya yang dianggap sebagai pencemaran nama baik. Dia ancam pula mahasiswa yang gay akan di-dropout (DO) atau dipecat dari UB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun