Kebijakan tarif yang dikeluarkan Presiden Trump pada 2025 telah benar-benar menciptakan gelombang kejut dalam arsitektur perdagangan global.Â
Kebijakan itu menghadirkan tantangan unik bagi China dan negara-negara ASEAN. Respon mereka tidak seragam, melainkan mencerminkan kompleksitas kepentingan nasional dan strategi geopolitik masing-masing.Â
China mengambil sikap konfrontatif. Bukan sekadar respons ekonomi, melainkan penegasan kedaulatan dalam pertarungan hegemoni global. China, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, memiliki leverage ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan negara-negara ASEAN.Â
Dengan PDB sekitar $18 triliun (2024) dan cadangan devisa terbesar di dunia, China mampu menahan tekanan ekonomi dari tarif AS. Selain itu, China memiliki surplus perdagangan besar dengan AS (sekitar $400 miliar pada 2024), yang menjadi alasan utama Trump menargetkan China dengan tarif tinggi, mencapai 145% pada April 2025.
China melancarkan balik tarif, memberlakukan pembatasan ekspor teknologi kunci, seperti bahan baku semikonduktor dan rare earth minerals.Â
Strategi ini berbeda dengan pendekatan defensif yang dilakukan selama Trump era pertama. Sebaliknya, negara-negara ASEAN menempuh jalur diplomasi multilateral. Singapura, Malaysia, dan Vietnam mengambil pendekatan negosiasi.Â
Mereka membentuk konsorsium ekonomi untuk meminimalisasi dampak tarif, menciptakan rantai pasok alternatif yang kurang bergantung pada kedua kekuatan besar.
Indonesia, dengan posisi strategisnya, memilih pendekatan selektif. Pemerintahan Prabowo Subianto memanfaatkan keanggotaan BRICS untuk mendiversifikasi mitra dagang. Langkah ini tidak sekadar respons ekonomi, melainkan manuver geopolitik yang cerdas.
Dibandingkan dengan Depresi Besar (Great Depression) pada 1929-1939, tarif Trump 2025 memiliki karakteristik berbeda. Great Depression mengakibatkan penurunan PDB global hingga 15%, pengangguran massal mencapai 25% di Amerika Serikat, dan perdagangan internasional menurun drastis hingga 65%.