Dalam lanskap diplomasi global kontemporer, media sosial telah mengubah secara dramatis cara sebuah negara membangun citra dan pengaruhnya.Â
Fenomena Darren Watkins Jr., atau IShowSpeed, menjadi bukti menarik soal bagaimana seorang influencer berusia 20 tahun dapat secara tidak sengaja menjadi agen soft power China.
Melalui livestreaming perjalanannya di berbagai kota China, IShowSpeed telah membongkar narasi stereotip yang selama ini berkembang di kalangan generasi muda Barat.Â
Ribuan komentar pengikutnya yang terpesona dengan infrastruktur modern, kebersihan kota, dan keramahan warga China menunjukkan efektivitas pendekatan baru dalam diplomasi kultural.
Fenomena ini bukanlah sekadar kebetulan, melainkan bagian dari strategi soft power China yang canggih. Soft power, yang  didefinisikan sebagai kemampuan suatu negara untuk menarik dan memengaruhi melalui daya tarik budaya dan nilai-nilainya, menjadi semakin relevan dalam konteks ini.Â
Peran influencer sangat penting dalam membangun soft power, karena mereka memiliki kemampuan unik untuk menjangkau audiens yang luas dan membentuk opini publik.Â
Ketika influencer berbagi pengalaman positif, pengaruhnya lebih kuat dibandingkan dengan kampanye resmi dan menciptakan koneksi emosional yang mendalam.
Berbeda dengan pendekatan tradisional yang bersifat top-down, China kini memanfaatkan influencer dan platform digital untuk menyebarkan narasi positifnya. TikTok, yang telah mencapai 1,6 miliar pengguna bulanan pada 2025, adalah contoh nyata bagaimana teknologi dapat menjadi instrumen diplomasi kultural.
Industri kreatif China pun mengalami transformasi signifikan. Film animasi "Ne Zha 2" yang meraih pendapatan $2 miliar dan game "Black Myth: Wukong" yang memenangkan penghargaan internasional, bukan sekadar produk hiburan, melainkan perpanjangan tangan soft power.Â
Mereka tidak hanya menjual hiburan, tetapi juga memperkenalkan mitologi dan estetika China ke panggung global. Menariknya, strategi ini tidak sepenuhnya direkayasa.Â