Seperti secangkir kopi hitam tanpa gula, kekalahan ini meninggalkan rasa pahit langsung ke ulu hati. Pahitnya kopi kok seperti pahitnya kekalahan timnas...Â
Kopi pahit membuat pikiran mas Dab terbang tanpa arah. Begini rasanya nonton timnas langsung... kalah!Â
Konon kopi pahit mengajarkan bahwa untuk mencapai sesuatu yang berharga, kita harus melewati proses yang tidak selalu menyenangkan.Â
"Masih mending kalah 0-1 tapi solid defensif, daripada kalah 1-5 gara-gara maksa main cantik," tetiba mas Dab berujar sambil mengaduk long black-nya di sebuah cafe di Surry Hills, Sydney, beberapa jam setelah pertandingan usai.Â
Asap kopi mengepul, senada dengan kepulan frustrasi para perantau yang baru pulang dari stadium. Niat #kaburajadulu ke Sydney dari rutinitas di Melbourne malah berubah tidak nyaman.
"Setuju banget," timpal Bimo, mahasiswa master di UNSW yang tadi menonton langsung di Sydney Football Stadium. "Tadi first half kita kedodoran. Australia sudah gacor bisa bikin 4 shot on target. Mental langsung drop."
Rama, yang sedang ambil PhD di University of Sydney, mengangguk. "Hasil tadi kok malu-maluin ya. Tim pelatih baru dan banyaknya pemain diaspora seperti nggak ngaruh."
"Banyak yang protes di sosmed," kata Sinta, sambil menunjukkan timeline Twitter-nya. "Bagian pertahanan jelas banget nggak solid."
"Sebenernya ini soal ekspektasi yang gak realistis," kata Rama. "Kita pengen main cantik kayak Argentina. Resources-nya memang ada, tapi development sepakbola kita masih jauh. Apalagi latihan barengnya kurang."
"Memang ada progress," tambah mas Dab. "Dulu ketemu Malaysia aja kita sering kalah. Sekarang udah bisa ngalahin Thailand, Vietnam. Bahkan bisa bikin Australia kesulitan di leg pertama di Jakarta."