Di tengah interdependensi ekonomi kapitalistik pada saat ini, boikot ekonomi tampaknya semakin menjadi senjata ampuh dalam hubungan antar-negara. Setelah boikot terhadap ekonomi Rusia (akibat serangan Rusia ke Ukraina) dan boikot produk Israel (akibat serangannya ke Gaza), kini giliran produk Amerika Serikat (AS) menjadi sasaran boikot di antara negara-negara Sekutunya, termasuk yang di Eropa.
Di ujung awal pemerintahan Trump jilid dua, sebuah fenomena menarik tengah menggelinding begitu cepat di panggung internasional, yaitu gerakan boikot produk AS.Â
Gelombang protes konsumen lintas-benua ini bukan sekadar ekspresi kekecewaan, melainkan instrumen diplomasi alternatif yang menggunakan kekuatan ekonomi sebagai senjata utama.
Skandinavia dan Kanada secara mengejutkan tampil di barisan terdepan dalam membingkai resistensi ini. Di Denmark, semangat "darah Viking" membara melawan kebijakan Trump yang dianggap agresif, terutama ancamannya terhadap kedaulatan Greenland.Â
Supermarket terbesar negara itu bahkan mulai melabeli produk-produk Eropa dengan bintang hitam, memfasilitasi pilihan konsumen untuk menghindari barang-barang buatan Amerika.
Lalu, Kanada menunjukkan respon boikot yang lebih kompleks. Tarif impor yang diberlakukan Trump, ditambah dengan candaan menjadikan Kanada sebagai negara bagian ke-51, telah memicu nasionalisme yang makin mengental.Â
Aplikasi seperti "Buy Beaver" dan "Maple Scan" bermunculan, membantu warga mengidentifikasi dan menghindari produk Amerika. Beberapa pemerintah provinsi bahkan membatalkan kontrak dengan perusahaan-perusahaan AS, seperti Starlink milik Elon Musk.
Dimensi ideologis