Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merayakan Pram di Angkringan Tugu Jogja

8 Februari 2025   18:26 Diperbarui: 8 Februari 2025   18:26 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRJS_jkVcW995CqvtVBnDjNuKOjTOR6_PHcCA&usqp=CAU

Yogyakarta selalu punya cara untuk mempertemukan orang-orang dengan kegelisahan yang sama. Di antara hiruk pikuk kota yang kian modern, masih ada ruang-ruang sederhana tempat pikiran dan gagasan bertemu, berdialog, dan saling menguatkan. 

Minimal ngobrol serius tapi santai. Di angkringan di sudut Tugu malam itu menjadi salah satunya, ketika tiga sahabat lama memutuskan untuk bertemu dan berbincang tentang sosok yang telah mengubah cara mereka memandang Indonesia: Pramoedya Ananta Toer.

Malam itu, mas Dab, mas Be, dan mas Gondhez duduk melingkari meja plastik yang dipenuhi cangkir wedang jahe kopi jozz dan piring-piring nasi kucing. Obrolan mengalir dari politik hingga sastra, sampai mas Be mengeluarkan buku lusuh dari tasnya - "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer.

"Ini buku yang mengenalkan aku kenal sama Pram," kata mas Be sambil mengelus sampul buku yang sudah menguning. "Tahun 1998, pas reformasi. Waktu itu bukunya masih dilarang, tapi entah kok bisa nyasar ke perpustakaan SMA." 

Mas Be, yang kini menjadi dosen sastra di kota sebelah, mengakui bahwa karya Pram itu telah mengubah caranya memandang sejarah dan kemanusiaan.

Ingatan mas Dab menelusuri masa lalu. Sebuah masa ketika dulu mas Be selalu membawa buku Pram ke mana-mana. Di kantin sekolah, sambil menunggu angkot atau pas naik bis merah keliling kampus UGM. 

Bahkan saat nongkrong di warung burjo kost, mas Be tetap tak jauh dari buku itu. "Dulu aku gak paham kenapa kamu segitu terobsesinya sama Pram," kata mas Dab. "Sampai akhirnya kamu maksa aku baca 'Nyanyi Sunyi Seorang Bisu'."

"Ah, itu buku yang bikin aku nangis," timpal mas Gondhez yang ternyata juga pembaca Pram. "Surat-surat Pram dari Pulau Buru itu... cara dia bertahan dengan menulis, cara dia melawan lupa. Kuat banget." 

Mas Gondhez tak lupa bercerita soal cara hidup asketis mas Be seolah menirukan Pram. Mas Gondhez pun mengungkap lika-liku dia menemukan tetralogi Buru - Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca - di toko buku bekas Malioboro. 

Larangan Orde Baru memaksa minat sastra itu harus dihidupkan di bawah permukaan. Mas Gondhez tidak siap jika harus ditangkap aparat saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun