Ketika menyatakan bahwa "Artificial intelligence is not American intelligence," Dr. Victor Gao tidak hanya berbicara tentang teknologi, tetapi juga tentang politik, ekonomi, dan dominasi global dalam inovasi.
Kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI) telah menjadi medan pertempuran baru antara Amerika Serikat (AS) dan China. DeepSeek AI tanda disangka telah menjadi simbol perlawanan China terhadap dominasi AS dalam teknologi AI.Â
Pernyataan Gao menyoroti isu besar dalam dunia teknologi terkini, yaitu: haruskah AS memonopoli perkembangan AI, atau AI harus menjadi sumber daya global yang bisa dimanfaatkan oleh semua negara?
Bagaimana pun juga, AI bukan lagi hanya sekadar inovasi ilmiah, tetapi telah bertransformasi menjadi alat strategis yang berpengaruh pada dinamika kekuatan global. AS, melalui perusahaan-perusahaan seperti OpenAI, Google, dan Meta, telah memimpin pengembangan AI.Â
Namun, China dengan DeepSeek AI juga ingin membuktikan bahwa kecerdasan buatan tidak bisa dan tidak boleh menjadi monopoli satu negara saja. Lalu, bagaimana dunia harus menyikapi persaingan ini?
Keunggulan atau Monopoli?
Sejak awal perkembangannya, AI telah dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa di AS. OpenAI, yang mengembangkan ChatGPT, adalah contoh bagaimana inovasi AI sebagian besar berasal dari ekosistem Silicon Valley yang kaya akan modal, talenta, dan infrastruktur teknologi.Â
AS juga memiliki akses terhadap sumber daya komputasi yang luar biasa, termasuk juga superkomputer canggih dan pasokan chip AI dari perusahaan seperti NVIDIA dan AMD.
Gara-gara DeepSeek AI, AS menuduh keras Singapura memberikan akses kepada pengembang AI China itu ke chip NVIDIA.Â
Namun, dominasi ini juga menuai kritik. Dengan mengendalikan teknologi AI, AS memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah perkembangannya.Â