Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kuasa Baru Para Lelaki: Harta, Tahta, dan... Sepeda?

9 April 2021   11:57 Diperbarui: 9 April 2021   12:12 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://statik.tempo.co/data/2013/11/01/id_233405/233405_620.jpg

Simbol baru kuasa para lelaki bukan lagi wanita, tetapi sepeda. Barang ini bagi kelangan tertentu malah disandingkan sebagai 'karib'-nya harta dan tahta. Apakah wanita tidak lagi menjadi simbol kuasa bagi laki-laki jaman now? Masih banyak yang menganut ajaran itu, tapi pembahasannya bukan di sini. Tulisan ini lebih mengulas kaitan harta, tahta, dan sepeda sebagai bentuk baru simbol kuasa laki-laki di jaman internet dan pandemi ini.

'Semangat' tulisan ini adalah boys will be boys. Terjemahan bebasnya adalah perilaku laki-laki itu kapan pun juga seperti anak kecil. Walaupun usia semangkin menua, seorang laki-laki selalu memerlukan sesuatu sebagai mainannya. Nah mainan ini macam-macam, salah satunya yang lagi viral adalah sepeda. Sepeda tidak cuma menjadi alat transportasi, namun dinaiki sebagai bagian dari simbol atau gaya hidup atas harta dan tahta yang dimilikinya. Selain itu, pesepeda atau peng-gowes tidak cuma lelaki, tetapi juga para perempuan dari berbagai usia dan kalangan. Untuk kepentingan penyederhanaan bahasa, yang dibahas hanya lelaki saja.

Nah, konsekuensinya adalah bentuk sepeda ini disesuaikan dengan harta dan tahta dari penaiknya. Yang viral adalah sepeda yang dinaiki para pemilik harta dan tahta di kelas menengah ke atas. Kelas atas ini tanpa batas dan malah bisa menyundul langit...hehehe...alias tanpa batas atas. Buktinya adalah yang sudah menjadi tersangka koruptor, yaitu salah satu mantan menteri dari pemerintahan saat ini. Dia ditemukan memborong lebih dari tiga sepeda mahal dari negara lain.

Anehnya, jarang atau malah tidak tampak konglomerat naik sepeda ya...mungkin karena sudah sepuh-sepuh. Padahal Presiden Jokowi pun naik sepeda pada beberapa kesempatan program kerjanya, tapi tidak tampak konglomerat yang mendampingi. Ah ini kok malah politis, kita kembali saja ke kelas menengah dan kelas atas tadi saja.

Viralnya sepeda bagi kaum berharta dan bertahta ternyata menimbulkan persoalan etika bersepeda. Aneh juga ya. Berharta dan bertahta, tapi kok malah dianggap tidak beretika dalam bersepeda. Ya, sebenarnya yang bersepeda itu berasal dari semua kelompok ekonomi. Sebagaimana semua fenomena atau fakta sosial ini bersifat relatif. Tidak bisa absolut. Tidak dapat hitam saja atau putih semata. Jadi, tulisan ini bukan menuduh kalangan berharta dan bertahta.

Kebetulan saja tuduhan soal etika bersepeda banyak diacungkan ke kelompok itu. Entah mereka sengaja atau tidak tahu-menahu soal etika bersepeda. Atau itu menjadi proses tak sadar dari copycat perilaku berkendara di jalanan. Bersepeda secara bergerombol menutupi jalan, zigzag seenaknya seolah jalan itu miliknya dan kelompoknya, dan seterusnya. Perilaku kaum itu dipandang aneh dan paradoks dengan kepemilikan harta dan tahta mereka karena mereka ini pada umumnya berpendidikan.  

Di sisi lain, jalanan umum belum banyak menyediakan jalur khusus sepeda di Indonesia. Kalaupun ada, itu adalah ruang atau space di bagian depan di lampu merah. Jadi, mereka tetap mesti berbagi dengan pengguna jalan lainnya, seperti kendaraan bermotor dan pejalan kaki.

Akibatnya, jalanan menjadi ruang publik dengan banyak kepentingan. Kepentingan umum yang berbaku di sini adalah pengguna jalan untuk transportasi dengan para penaik sepeda yang "asal gowes" saja di jalanan. Kepentingan kedua ini sering kali tidak memakai helm dan tidak peduli dengan rambu lalu lintas. Pada dasarnya, mereka ini tidak beretika di jalanan umum.

Lalu, mengapa kecenderungan bersepeda tanpa atau kurang etika terjadi di kaum berharta dan bertahta ini?

Pertama soal harta. Kenyataan ngiris itu mempertontonkan bahwa mahalnya harga sepeda ternyata tidak diikuti oleh pemahaman tentang etika bersepeda. Pembeli sepeda baru hanya mendapatkan informasi tentang cara merakit dan merawat sepeda. Pembelian sepeda tidak disertai dengan pemberian informasi soal tata cara menaiki sepeda di jalanan umum.

Kenyataan di lapangan secara jelas menunjukkan keinginan orang bersepeda mahal tidak dengan serta merta mendorong pesepeda memahami aturan main bersepeda di jalan. Jadi, tidak ada kaitan antara sepeda yang ditunggangi harganya semakin mahal tidak dibarengi dengan semakin memahami etika menaiki sepeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun