Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kuasa Baru Para Lelaki: Harta, Tahta, dan... Sepeda?

9 April 2021   11:57 Diperbarui: 9 April 2021   12:12 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://statik.tempo.co/data/2013/11/01/id_233405/233405_620.jpg

Harta yang dipakai untuk membeli sepeda 'semahal' itu ternyata tidak sebanding dengan 'harta' yang dibawa di jalanan, yaitu aturan main atau sopan-santun bersepeda. Etika bersepeda harus dibungkam dengan harta dan tahta pesepeda.

Kedua, minat bersepeda berkaitan dengan tahta yang dimiliki pesepeda. Salah satunya, misalnya, adalah ketokohan. Repotnya, tokoh ini sebenarnya tidak memiliki hobi bersepeda. Kalaupun ada, tokoh itu biasanya adalah pejabat pemerintah yang menaiki sepeda karena formalitas musiman saja.  

Formalitas karena partisipasinya diharapkan memberikan efek ikutan kepada masyarakat di daerahnya atau wilayah kerjanya. Musiman artinya kegandrungan tokoh itu dalam bersepeda hanya sekedar pelaksanaan kebijakan saja. Bisa kebijakan atasan atau kebijakannya sendiri. Setelah jangka waktu tertentu berjalan, tokoh itu tidak bersepeda lagi.

Oleh karena itu, pengaturan kalangan ini dalam bersepeda ini sebenarnya sifatnya tidak mendesak. Namun demikian karena mereka ini adalah kelompok pemilik harta dan tahta maka suara mereka cukup berpengaruh. Beberapa kota mencoba mengakomodasi mereka dengan menyediakan jalur-jalur terbatas untuk bersepeda hingga kebijakan semacam sunday morning bike.

Yang pasti, kaitan harta-tahta-sepeda ini belum bisa diakomodasi sebagaimana di negara-negara lain yang secara kebijakan, infrastruktur dan lain-lain sudah lebih baik daripada di Indonesia. Seperti di Belanda. Seorang perdana menteri dengan santainya menaiki sepeda tanpa pengawal dan lain-lainnya. Begitu pula staf diplomatik Indonesia di Den Haag juga naik sepeda dari rumah ke kantor perwakilan hampir setiap hari. Banyak hal yang mendukung aktifitas bersepeda untuk kepentingan rutin atau sehari-hari di luar negeri sana. 

Bagi pesepeda atau peng-gowes di Indonesia dari kalangan berharta dan bertahta itu, satu-satunya cara paling mudah adalah memahami etika umum bersepeda di jalanan umum (public space). Sepeda sebagai 'karib'-nya harta dan tahta perlu dimaknai lebih dari sekedar gaya hidup atau simbol kuasa lelaki masa kini. Ketika kegiatan bersepeda atau nggowes dilakukan di jalanan umum, maka aturan umum yang berlaku, bukan aturan pemilik harta atau tahta yang sifatnya personal (private space). 

Sepeda bisa saja merupakan mainan bagi lelaki pemilik harta dan tahta, namun bersepeda di jalanan umum itu bukanlah mainan pula. Itu sesuatu yang serius. Jalanan umum itu bukan jalan pribadi sehingga siapa pun pengguna jalan umum harus berbagi dengan pengguna jalan lainnya dan mematuhi peraturan rambu-rambu lalu lintas. Aturan lain yang lebih rinci tergantung situasi dan kondisi di daerah masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun