Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pesawatnya Lebih Baik Terlambat Supaya Bisa Menginap Gratis di Frankfurt

26 Februari 2021   17:15 Diperbarui: 26 Februari 2021   17:18 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menginap semalam di Frankfurt. Hotel gratis. Taksi juga gratis. Itu sekelumit lain kisah mas Dab yang menyenangkan. Entah lain waktu apa ya mas Dab mau berbagi cerita sedihnya. Paling tidak, ini cerita keberuntungan mas Dab setelah mendapat beasiswa pelatihan di Budapest.

###

Saatnya pulang ke Jokja lagi, setelah semingguan lebih sedikit ikut pelatihan di Budapest. Seperti biasanya mas Dab tiba di bandara lebih awal 4-5 jam untuk penerbangan internasional. Apalagi kalo di luar negeri, bandara bagus bisa menjadi tempat wisata juga. Selain ditabung dan keperluan koleksi, masih ada uang koin yang bisa dibelikan suvenir di bandara.

Kebetulan mas Dab bersama teman dari Indonesia juga, orang asli Sidoarjo, yang mengajar di sebuah kampus di Surabaya. Mas Gus namanya. Senang juga punya barengan dari Indonesia. Ternyata mas Gus pulang di hari dan pesawat sama. Lumayan punya teman jalan hingga sampai Jakarta.

Sebelum dilanjut ke bandara untuk pulang, mas Dab mau berbagi cerita soal pelatihan di Budapest ke diary temannya ini. Paling tidak, cerita ini sebagai semacam akuntabilitas mas Dab ke saya... eh... ke publik:)

###
Setelah si seblak kasur itu selamat sampai di tangan mas Andi, mas Dab lega bukan kepalang. Salah satu misi sudah accomplished. Kabarnya, seblak sudah sampai di mas Sis di Brno. Saking awetnya, seblak itu diwariskan ke teman-teman beliau yang menempati rumah itu bergantiandi tahun-tahun berikutnya.

Selama di Budapest, sebagian besar waktu tercurah di pelatihan itu. Dari pagi jam 9.00 sampai sore jam 15.00. Sarapan di hotel kampus. Makan siang barengan 10 teman lain se-pelatihan. Makan malam mencari sendiri. Ada uang saku dari panitia untuk kebutuhan harian itu, ditambah uang buku dan tiket bis/kereta.

Pelatihan itu temanya tentang nasionalisme. Dari dimensi ekonomi sampai politik. Soal nasionalisme di tengah globalisasi dan regionalisasi di Eropa. Begini intisari pelatihan itu. Oya pelatihan ini di tahun 2010 pas belum ada ASEAN Economic Community. Belum ada juga pikiran liar orang-orang Inggris keluar dari Uni Eropa alias Brexit.

Dalam konteks globalisasi, nasionalisme ternyata tetap dipraktekkan negara-negara besar atau maju. Amerika, Jepang, Inggris, Jerman, Perancis dan lain-lain adalah pendukung utama globalisasi. Mereka mendorong dan, bahkan, memaksa negara-negara berkembang untuk membuka pasarnya. Tarif impor harus dikurangi, kalo perlu dinolkan. Bahkan negara-negara besar plus maju itu memberi iming-iming kompensasi jika negara-negara berkembang mau ikut berglobalisasi.

Tidak cukup itu saja. Negara-negara di kawasan tertentu, seperti Asia Tenggara, dibujuk membuat regionalisasi ekonomi di antara mereka sendiri. Tujuannya, tidak lain, adalah membuka pasar masing-masing negara. Tarif barang ekspor dan impor di-nol-kan atau dikurangi secara bertahap pada produk-produk tertentu secara bertahap.

Namanya regionalisasi, tetapi sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah globalisasi di kawasan tertentu, misalnya ASEAN. Bayangkan...10 negara anggota ASEAN dibebaskan dalam perdagangan barang dan jasa tanpa tarif atau tanpa aturan nasional yang menjadi kewenangan negara itu. Ini belum kebebasan modal atau kapital dan manusia yang bergerak (mobilitas manusia) bebas tanpa hambatan antar-berbagai negara, seperti di antara negara-negara anggota Uni Eropa.

Wah bakal repot ini buat Indonesia. Dengan pasar 230an juta penduduk pada waktu itu, Indonesia bakal menjadi pasar empuk buat negara-negara lain. Apalagi sumber daya manusia belum sesiap negara lain untuk mendapatkan manfaat terbesar dari regionalisasi ekonomi.

Lha apa Indonesia harus menyetujui globalisasi itu, tanpa sedikit pun ruang untuk bersikap nasionalis? Pelatihan itu pun membahas strategi nasionalisme negara-negara maju yang dicoba ditiru dan dikritisi negara-negara berkembang. Nasionalisme dari negara-negara anggota Uni Eropa juga dibahas sebagai alasan untuk melidungi sektor pertanian domestik.

Tidak ada studi kasus Indonesia dalam bahasan di pelatihan itu. Mas Dab memberanikan diri bicara tentang strategi Indonesia di forum tanya-jawab. Harapan mas Dab, peserta yang sebagian besar dari negara-negara bekas Eropa Timur bisa juga belajar dari Indonesia.

Setelah sesi itu, mas Dab pun berpikir liar: bagaimana mau mendorong mobilitas manusia di kampungnya? Lha wong mereka lebih suka mangan ora mangan kumpul. Ngiris rasanya memikirkan pandangan minimalis yang banyak dianut itu. Cara berpikir kayak begitu mestinya juga banyak penganutnya di daerah lain, walau tidak disadari atau tidak mau mengakui.

Sementara teman-temannya sesama mahasiswa yang lebih maju jejaringnya ketimbang mas Dab ternyata berpandangan kurang lebih sama juga. Nggak mobile. Cukup cari kerja di Yogya atau biasanya ke Jakarta. Bagi mereka, lebih baik hujan batu di negeri sendiri ketimbang hujan emas di negeri lain.

Di salah satu hari selama pelatihan itu, mas Dab jalan-jalan di sekitaran kampus Centra European University. Di pojok sebuah jalan besar, kok ada kantor memakai nama Indonesia? Ternyata itu kantor Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) milik Departemen Perdagangan Indonesia. Kebetulan waktu itu sudah jam 4 sore lebih, jadi sudah tutup.

Dalam pikiran mas Dab, ada banyak pertanyaan berkecamuk: apa ya besar untungnya Indonesia dari perdagangan atau investasi Hungaria di Indonesia, sehingga perlu punya kantor itu? Kok tidak disatukan saja dengan KBRI di Budapest? Dan pertanyaan-pertanyaan sok kritis lain dari mas Dab.

Baru sekali ikut pelatihan saja mas Dab sudah ribut seperti itu...hehehe... Bayangkan kalo bisa ikut yang di kampus-kampus pusat ekonomi dunia di LSE, MIT, Harvard, atau yang lainnya.
###

Sampai di pintu masuk ke pesawat, mas Dab mendapat informasi pesawat datang terlambat. Wah...repot ini...terlambat gara-gara cuaca jelek di daerah antara Frankfurt dan Budapest. Mas Dab berharap pesawat terlambat 3 sampai 4 jam sekalkian. Iseng-iseng berhadiah. Itu slogan mas Dab supaya dapat manfaat dari sesuatu yang tak terduga.

Lha kalo telatnya cuma 1-2 jam masih ada peluang cuaca jelek itu. Mas Dab sudah membayangkan repotnya di atas sana pesawat bergoyang. Wah... Akhirnya, pesawat terlambat 4 jam. Pesawat seharusnya jam 18.30 jadinya terbang jam 22.30. Tiba di Frankfurt tidak akan bisa nyambung dengan pesawat ke Jakarta jam 23.30 WIB. Untunglah pesawat ke Jakarta sudah terbang on time. Lho... lha kok malah untung? ... Dengan on time itu, mereka tertinggal di Frankfurt bukan karena kesalahan mereka.

Jadi mimpi nginep semalam gratis di Franfurt pun terwujud. Mereka berdua mendapat voucher gratis untuk hotel Hyatt Frankfurt dan taksi bandara-hotel pulang dan pergi. Mas Dab memang orang yang beruntung... wong bejo kata orang-orang di kampungnya:)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun