Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mas Dab, Orang Pertama di Kampungnya yang Naik Pesawat Terbang ke Luar Negeri

23 Februari 2021   12:24 Diperbarui: 23 Februari 2021   12:58 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: garuda-indonesia.com

Ini sekelumit kisah mas Dab. Sekelumit dulu di sini supaya sekelumit lainnya bisa di tulisan lainnya ya. Biar nggak monoton melulu soal mas Dab, kisahnya ditambahi asesori kehidupannya seperti yang di judul itu.

Banyak orang menganggap ihwal naik pesawat terbang dan bisa ke luar negeri barangkali sebagai hal biasa. Seperti evolusi sosial, nanti akan sampai ke tahap itu juga. Tapi bagi mas Dab ini nggak biasa dan nggak masuk akal sehat. Jadi itu alasan soal ini perlu ditulis sembari mengenal mas Dab sedikit-sedikit.

####

Bagi orang kampung yang ndeso kayak mas Dab, naik pesawat terbang, apalagi ke luar negeri itu adalah mimpi dan di luar akal sehat. Itu mimpi ---bukan impian lho--- yang seolah jadi dosa. Karna mimpi itu adalah dosa bagi mas Dab, makanya diusahakan tidak mimpi kedua hal itu.

Mimpi saja nggak mungkin apalagi jadi kenyataan, begitu kira-kira cara mas Dab mikir. Dan di luar akal sehat, jadi mimpi soal itu malah bikin mas Dab nggak sehat.

Akibat nyata-nya, mas Dab jadi bahan olok-olok temannya (Wah dulu belum ada itu istilah bully. Walau perilaku marak ada, tapi bukan bagian dosa sosial waktu itu).

Soal mimpi dua hal itu sudah menjelaskan betapa ribetnya orang yang namanya mas Dab ini. Plus ruwet.

Nasib itu ditambah fakta sosial bahwa tidak ada alasan logis yang memberi mas Dab peluang-peluang itu. Ekonomi kaluarga-nya termasuk golongan pra-sejahtera. Pertemanannya ya di sekitar-sekitar golongan itu saja. Sulit bagi mas Dab menembus sekat-sekat sosial kultural.

Ketakutan terbesarnya, bahkan, adalah terjerembab dalam perangkap sosial-kultural Jawa feodal model bobot, bibit, dan bebet. Jadinya, akses pansos alias panjat sosial ---istilah yang belum ada di akhir 2010an--- pun tak ada.

Kalaupun ada jalan, mungkin karena mas Dab kuliah di kampus di kota pecahan sebagai akibat dari Perjanjian Giyanti itu. Yogyakarta:) Kebetulan mas Dab nde-kost di daerah UGM, lalu makan malamnya di warung-warung depan fakultas kehutanan UGM.

Alasannya karena di hari-hari tertentu di salah satu ruangan di dekat jalan terdengar suara mahasiswa latihan nge-band musik cadas. Lagu-lagunya Dream Theater, AC DC, Megadeth dan sejenisnya selalu jadi menu latihan (Ah... mungkin gara-gara ini ya Pak Jokowi yang alumni fakultas itu jadi penyuka musik begituan). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun