Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menjamin Sengkarut Bahasa Pas Ngeblog

8 Oktober 2020   21:54 Diperbarui: 8 Oktober 2020   22:02 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: jonathanrick.com

Namanya saja ngeblog, mengapa harus meributkan bahasanya yang sengkarut? Apakah bahasa yang sengkarut di blog itu buruk? Apa yang menjadi dasar untuk menyatakan bahwa bahasa ngeblog itu sengkarut? 

Siapa atau lembaga apa yang memiliki otoritas untuk mengatakan itu? Mengapa segala sesuatu harus dianggap baik atau buruk, termasuk bahasa di blog? Seolah dunia ini hanya dihuni dua kelompok saja yang saling berlawanan. Dengan cara seperti itukah kita memandang segala sesuatu di sekitar kita?

Sesuatu berlangsung dalam konteks tertentu. Ada struktur atau sistem atau lingkungan yang berperan secara alamiah mengatur perilaku aktor-aktor yang berada di dalamnya. Demikian juga dengan keberadaan blog dan posisi-nya di dunia maya.

Blog adalah bagian dari internet atau dunia maya. Blog muncul dan berkembang sebagai bagian dari keinginan para netizen untuk menuangkan gagasannya secara bebas di dunia maya. Seperti internet yang menawarkan kebebasan bagi penggunanya, demikian juga blog bagi penggunanya. 

Menjamurlah blog-blog pribadi dengan berbagai ciri khasnya seturut dengan keunikan pemilik blog. Pada masa emasnya, bloger menjadi sebuah profesi, identitas, dan status pribadi. Popularitas bloger menjadi sebuah daya tarik dan dapat dimonetisasi pada saat itu. Harap diingat istilah 'monetisasi' belum ada pada jaman keemasan blog. Profesi bloger meraih popularitasnya jauh sebelum ada youtuber atau podcaster.

Bagi saya, perkembangan blog itu menunjukkan bahwa segala sesuatu akan memiliki keseimbangan dinamiknya. Keseimbangan dalam bahasa blog adalah sengkarut bahasa itu -—kalau pun ada-— akan bersifat dinamis. 

Sengkarut bahasa bisa saja berlangsung karena semangat jaman di sebuah masa tertentu memang memerlukannya. Selanjutnya, di masa lain sengkarut bahasa itu tidak terlalu berkembang, tetapi sekedar merespon suatu kondisi tertentu saja. 

Ibarat sebuah timbangan, beban atau sengkarut bahasa akan menemukan keseimbangannya sendiri secara dinamis, tanpa perlu pemberlakuan aturan tertentu. Apalagi aturan itu harus bersifat membelenggu atau, bahkan, memberangus dinamika sengkarut Bahasa itu, maka sifat bebas dari bahasa ngeblog itu justru ahistoris.

Blog dan kawan-kawannya adalah representasi dari kehadiran internet. Blog itu bagian dari dunia maya atau siber (cyberspace). Ada ruang di luar dunia nyata yang menjadi medium kehidupan manusia. Dunia maya hadir pelan-pelan menawarkan sesuatu yang baru. Hampir semua hal di kehidupan nyata ada di dunia maya. Semua itu seolah-olah dipindah begitu saja. Segala hal di dunia nyata mengalami digitalisasi.

Situasi itu semakin menjadi-jadi ketika pandemi Covid-19 menyerang dan menyebar ke seluruh dunia. Akibatnya, interaksi sosial antar-manusia menjadi terbatas -—-jika bukan dibatasi-—- karena pemberlakuan protokol kesehatan. Pembatasan fisik di sebuah ruang di dunia nyata menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindarkan, sehingga aktifitas di dunia nyata beralih ke dunia maya.

Masalahnya adalah tidak semua orang menyadari sifat dunia maya yang berbeda dengan dunia nyata, khususnya dalam berbahasa. Bahasa ngeblog adalah bagian dari identitas orang ber-internet. Identitas itu berkaitan dengan kebebasan atau penentangan terhadap otoritas negara di sektor bahasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun