“Nama saya Inong, hanya Inong. Saya bukan siapa-siapa”. novel Bidadari Hitam. Novel setebal 252 halaman ini mengangkat isu-isu Hak Asasi Manusia dengan penggambaran yang ciamik serta bahasa yang lugas.
Kutipan tersebut adalah kalimat pembuka yang dapat kita baca di bagian sampulLatar belakang pengarang - T.I. Thamrin - yang seorang wartawan sekaligus redaktur di majalah Ambassador, Tempo, Kadin dan Matra ini tentu sangat mempengaruhi sajian cerita yang dibawakan novel Bidadari Hitam. Karenanya, T.I. Thamrin sendiri mengatakan novel ini tidak begitu kental dengan aroma sastra, ia menyebutnya sebagai Novel Jurnalistik. Peristiwa demi peristiwa nyata semasa konflik Aceh ia sajikan dalam kemasan cerita yang menarik sekaligus turut menorehkan luka di hati siapa saja yang membacanya.
Kisah dimulai dengan potret suatu sore yang cerah, keceriaan tergambar di muka anak-anak desa dan keluarga Mak Santan, yang secepatnya berubah menjadi mencekam sebab kedatangan satu regu tentara yang hendak patroli rutin. Perlu diketahui, tentara-tentara itu merupakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang mula-mula ditugaskan oleh pemerintah untuk meredam Gerakan Aceh Merdeka.
Disepanjang cerita kita akan dipertemukan dengan sosok tokoh Inong, Ahya, Fitri serta Mak Santan. Mereka merupakan tokoh sentral yan berperan besar mewarnai alur cerita dalam novel tersebut.
Namun, tulisan ini tidak akan mengulang runtutan peristiwa dari awal sampai akhir. Bagi yang penasaran dengan ceritanya, silahkan baca buku yang ditulis T.I. Thamrin, berjudul : Bidadari Hitam, terbitan Imparsial-AJMI tahun 2008.
Membaca, dialektika
Membaca tidak hanya sekedar membaca, membaca bukan lantas membiarkan objek bacaan berkuasa penuh atas diri kita. Artinya, dalam membaca sebuah buku ataupun yang lainnya, harus diupayakan adanya komunikasi dua arah antara pembaca dengan objek yang sedang dibaca. Sehingga, diri pembaca tidak tenggelam dalam objek serta tidak melenyapkan sisi keakuan.
Dalam konteks membaca Bidadari Hitam, selain menilik kembali konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, disana terdapat sesuatu hal yang lebih urgent. Dilihat dari pemilihan judul Bidadari Hitam, merupakan ejawantah atas isi novel secara keseluruhan. Bahwa Inong, seorang tokoh yang nyaris digambarkan sempurna sebagai perempuan yang cantik nan eksotis, bak bidadari. Namun ia harus cukup puas menerima kenyataan sepanjang hidupnya beriringan dengan kekerasan dan penderitaan yang tak berkesudahan, sangat jauh dari konsep bidadari itu sendiri, boleh jadi inilah maksud kata hitam.
Ekspektasi semasa kanak-kanak Inong akan kehidupan di masa mendatang yang cerah, nyata-nyata ditabrak oleh realita sebenarnya, hal tersebut sebagai buntut dari konflik yang memuncak di provinsi berjuluk Serambi Makkah itu antara tahun 1989 sampai dengan tahun 2001.
Jika kita telaah novel ini lebih teliti, disana banyak sekali ditemukan bentuk kekerasan yang dipicu dari perbedaan gender. Paling tidak, sedikitnya ada empat bentuk kekerasan yang dirasakan langsung oleh tokoh-tokoh perempuan, yaitu : Kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan pembiaran ekonomi.
Kekerasan terhadap perempuan pada masa itu erat hubungannya dengan dominasi laki-laki atas perempuan, dimana pihak yang dominan merasa memegang kendali penuh atas pihak yang disubordinasikan serta menafikan kebebasan subjektivitas pihak yang disubordinasikan. Sementara dilihat dari kacamata pihak yang disubordinasikan, perempuan hanyalah alat kemauan pihak yang dominan.