Mohon tunggu...
Lubisanileda
Lubisanileda Mohon Tunggu... Editor - I'm on my way

A sky full of stars

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filosofi Permainan Anak-Anakan Tempo Doloe

17 Desember 2019   21:31 Diperbarui: 17 Desember 2019   21:42 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi pribadi

Pada adegan lain, sang ibu pergi berbelanja ke pasar. Lantas ia berucap pada sang anak, untuk menjaga rumah. Pintu harus terkunci dan nasehat-nasehat lainnya. 

Anggukan demi anggukan sang anak pun meyakinkan sang ibu untuk meninggalkan anaknya di rumah. Tiba-tiba, dari ujung sana sang ibu menelpon. "Halo, mama sudah siap belanja. Kamu mau dibawakan apa?" tanya sang ibu melalui kotak pensil yang ia andaikan sebagai ponsel. 

Jarak kedua anak ini cukup dekat. Sang anak berada di dalam kamar, sedangkan sang ibu berada di luar kamar. Pintu kamar yang sesungguhnya menjadi batas jarak mereka. Sehingga keduanya bisa saling berbicara dan mendengar. Hanya saja dalam imajinasi mereka, anak yang berperan sebagai ibu sedang berada di pasar dan sedang menelpon anak laki-laki yang berperan sebagai anaknya yang sedang berada di rumah. 

"Aku mau dibelikan permen Ma," sahut sang anak. Lantas sang ibu pun menyanggupi permintaan sang anak sembari menyudahi hubungan komunikasi itu. Tak sampai semenit. Suara ketukan di daun pintu terdengar. Rupanya sang ibu sudah sampai di depan rumah. Dan sekali lagi imajinasi memegang peranan yang sangat kuat dalam adegan yang dilakoni kedua anak itu. 

Saya yang mengamati itu sangat menikmati setiap adegan kedua anak itu. Apalagi adegan ketika mereka menikmati makan siang mereka. Suara "nyam-nyam" mereka keluarkan dari mulut mereka. Seolah-olah mereka sedang makan sungguhan. Bak menonton sebuah pertunjukan komedi, saya tertawa-tawa sendiri. 

Pada hal luas sekalipun ternyata begitulah adanya lakon manusia dalam panggung nyata bertajuk dunia ini. Kita bisa menciptakan peran sesuai yang kita inginkan. Jangan-jangan seperti itu juga kita dan orang-orang lainnya. Berpijak pada bumi yang sama dan memainkan perannya masing-masing. Persis kedua anak tadi. 

Bedanya anak-anak itu menciptakan imajinasinya juga membentuk karakter perannya dalam dunia permainan yang mereka bangun itu lebih murni, tanpa balutan kepentingan yang merugikan banyak orang. Paling tidak saya yang mengamati itu hanya melihat satu kepentingan pada setiap adegan yang mereka lakoni, yakni kepentingan untuk bersenang-senang dan merasa gembira. 

Sedangkan kita, apakah kita merasakan kegembiraan persis anak-anak itu, ketika kepentingan kita tercapai? Yakin? Sungguh-sungguh? Ah, saya jadi rindu bermain boneka kertas anak-anakan lagi. Huhuhu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun