Mohon tunggu...
LPM EDENTSFEB
LPM EDENTSFEB Mohon Tunggu... Jurnalis - Lembaga

Lembaga Pers Mahasiswa FEB Undip

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Diskriminasi Ras dan Etnik di Tengah Kemajemukan Masyarakat Indonesia

9 November 2019   00:59 Diperbarui: 9 November 2019   01:05 4246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan negara multikultural yang terdiri dari pelbagai suku dan budaya. Hal ini menyebabkan perbedaan menjadi hal yang lumrah di tengah-tengah masyarakat. 

Beragamnya kebudayaan ini tentunya menciptakan karakteristik atau kekhasan masyarakat di daerahnya masing-masing. Karakteristik ini pada akhirnya membentuk cara pandang dan perilaku masyarakat yang berbeda-beda pula. 

Wilayah Indonesia yang terbentang luas baik secara geografis maupun geologis dengan jumlah penduduk yang besar pula, menjadi bukti bahwa Indonesia terlahir sebagai bangsa yang hidup dalam kemajemukkan. 

Perbedaan ini, tak ayal menimbulkan beberapa gesekan di masyarakat. Adanya sikap primordialisme menyebabkan timbulnya dominasi kelompok di dalam tatanan masyarakat. 

Sikap ini akan berakibat pada terkikisnya jiwa nasionalisme yang ada didalam diri setiap bangsa. Ditambah lagi dengan adanya kesenjangan sosial, kemiskinan, serta tingkat pendidikan yang belum merata, menyebabkan sikap-sikap ini nantinya akan berujung pada terjadinya diskriminasi baik ras maupun etnis.

Dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 I ayat 2, yang berbunyi " Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu". Negara telah menjamin setiap warganya untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif dalam bentuk apa pun dan wajib dilindungi dari perlakuan tersebut. Namun, dalam prakteknya masih dijumpai beberapa kasus berupa perlakuan diskriminatif di Indonesia.

 Hal ini tentunya tidak sejalan dengan prinsip yang terdapat dalam Hak Asasi Manusia, dimana prinsip kesetaraan dan anti diskriminasi menjadi tuntutan yang harus ditegakkan. Setiap orang berhak mendapatkan kebebasan dan kesetaraan, terlepas dari perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, dan lain sebagainya.

Beberapa kasus diskriminasi ras dan etnis pernah terjadi di Indonesia, salah satunya terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya tiga tahun silam. 

Siput Lokasari, salah satu penduduk berketurunan Tionghoa, ia memiliki tanah seluas 1.000 m2 yang dibeli istrinya di daerah Kulon Progo sekitar beberapa tahun yang lalu. Saat hendak mengubah hak kepemilikan tanah ini menjadi namanya, Siput mendapatkan penolakan. 

Penolakan ini disebabkan karena istrinya merupakan keturunan Tionghoa (China) atau warga non pribumi. Siput tidak lantas diam, ia dibantu oleh Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad) melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berupaya menuntut dan mempertanyakan haknya. 

Komnas HAM sendiri memberikan rekomendasi kepada Gubernur Yogyakarta untuk mencabut kebijakan yang disebut 'diskriminatif' itu. Upaya yang dilakukannya tak berhenti disitu, ia lalu menghubungi Sultan Hamengkubuwono X untuk menanyakan tentang hak kepemilikan tanah di kota kelahirannya, yang ia anggap diskriminatif.

 Ia menuntut terhadap pembatalan Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikeluarkan pada 1975 lalu, berisi larangan warga non pribumi memiliki tanah. Siput berharap, agar pihak yang berwenang untuk mengatur kebijakan ini, mampu menunjukkan sikap yang tepat sebagai pemangku kebijakan, agar tidak lagi terjadi masalah diskriminatif seperti ini di daerah Indonesia lainnya.

Peristiwa ini tentunya bukan kali pertama terjadi pada etnis Tionghoa di Indonesia. Tragedi kerusuhan Mei 1998, juga merupakan aksi diskriminatif meliputi penjarahan, penghancuran toko dan rumah, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, pelecehan dan lainnya terhadap masyarakat etnis Tionghoa. 

Tragedi ini dilatarbelakangi oleh adanya kritik terhadap krisis finansial Asia 1997, yang berlangsung pada pemerintahan orde baru. Dan etnis Tionghoa kala itu, dianggap sebagai bagian dari triple minority 1 yang memiliki posisi stabil dan strategis dalam ekonomi, sehingga keberadaan mereka tidak disukai dan disisihkan dikalangan masyarakat. Praktik penindasan ini terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, diantaranya yang terbesar di Jakarta, Medan, Surabaya. 

Dampak dari kerusuhan ini, menyebabkan masyarakat etnis Tionghoa mengalami trauma berkepanjangan, bahkan mereka sempat melarikan diri ke luar negeri untuk berlindung dari kekejaman oknum yang tidak bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan ini.

Negara sebagai pemegang konstitusi tertinggi telah memiliki payung hukum yang diatur dalam UUD 1945 untuk menjaga setiap hak warga negaranya tanpa memandang ras, warna kulit, dan jenis kelamin.

 Beberapa contoh kasus diskriminasi rasial yang pernah terjadi di Indonesia menjadi bukti, bahwa negara belum mampu menjamin dan melindungi hak hidup setiap warganya secara adil dan bijaksana. 

Tuntutan anti-diskriminatif menjadi hal kesekian dan belum menjadi prioritas masalah yang harus diselesaikan. Hal ini menyebabkan masyarakat etnis minoritas menjadi tumbuh dan berkembang dalam bayang-bayang diskriminasi dan luka lama yang belum terselesaikan. 

Beberapa kasus diskriminasi rasial ini, diharapkan mampu menjadi bentuk refleksi bersama, bahwa pada hakikatnya Indonesia diciptakan dalam kemajemukan sehingga memerlukan keadilan dalam berpikir dan berperilaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun