Mohon tunggu...
Louis Pariama
Louis Pariama Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta

suka baca dan jalan-jalan, menaruh perhatian pada persoalan-persoalan sosial, isu perempuan dan anak serta masyarakat dan budaya lokal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Penggerak Itu Tak Lelah Bergerak (2)

30 November 2022   16:36 Diperbarui: 30 November 2022   16:39 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak awal dibukanya PAUD di kampung halamannya, Iren menyadari penuh tantangan yang dihadapinya. Sumber daya manusia yang terbatas. Siapa yang akan menjadi guru, menemani kedua orangtuanya? Ia mendapati perempuan-perempuan yang bersemangat mendidik anak-anak. Dalam pengalaman Iren, selalu ada perempuan-perempuan yang mau bergabung untuk mendidik anak-anak ketika ia membuka PAUD di tempat yang lain. Bahkan ada perempuan-perempuan yang datang menemuinya dan meminta untuk membuka sekolah di desa mereka karena menyadari kebutuhan anak-anak mereka akan pendidikan yang lebih baik. Seperti yang terjadi di desa Huku Kecil. 

Dalam salah satu kesempatan mengunjungi desa itu bersama salah satu partai politik di mana ia bergabung, Iren melihat banyak anak usia dini di sana namun tidak ada sekolah PAUD. Di desa itu ada SD dan SMP, namun guru-gurunya tidak tinggal di sana. Mereka hanya datang beberapa bulan sekali. Guru honorer yang berasal dari desa itu yang melakukan tugas mengajar. 

Huku Kecil memang jauh di atas gunung dengan akses jalan yang terbatas. Ia menyayangkan hal itu, namun hanya berdiam diri. Hingga kemudian setelah beberapa kali kunjungan lanjutan, ia diminta oleh beberapa perempuan untuk membuka PAUD di sana. Sebelumnya sudah pernah ada PAUD yang dibuka oleh salah satu guru tapi tidak bertahan lama karena sang guru tidak menetap di sana. Sebenarnya Iren tidak hanya mengunjungi Huku Kecil. 

Ada tiga belas desa terpencil di Kecamatan Elpaputih yang dikunjunginya dan ia menemukan kondisi yang serupa. Namun Huku Kecil begitu melekat di hatinya karena hubungan adat yang erat antara desa ini dengan desanya. Dalam adat Maluku, Tihulale dan Huku Kecil adalah “Pela”. Ikatan persaudaraan secara adat dengan berbagai aturan dan pantangan yang mengikat warganya. Iren kemudian membuka sekolah di sana pada tahun 2019 dan para perempuan yang menjumpainya itu menjadi guru.

Perempuan-perempuan dengan kemauan mendidik anak-anak juga ia jumpai di 3 desa lainnya. Yakni Kaibobo, Waisarissa dan Nuruwe. Merekalah yang kemudian menjadi guru, walau tidak memiliki latar belakang pendidikan guru. Dengan sumber daya guru yang terbatas, Iren sadar diperlukan kegiatan-kegiatan untuk memperlengkapi guru dan upaya peningkatan kompetensi guru. 

Tidak seperti di Jakarta, di daerah 3T seperti ini kegiatan-kegiatan peningkatan kompetensi guru PAUD sangat jarang.  Itu sebabnya Iren rajin memberi pelatihan kepada guru-guru di PAUD Pelangi Asih. Sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah dan menetap di Tihulale pada tahun 2017, Iren harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk bolak-balik Jakarta-Ambon demi memberi pelatihan. Kala itu tidak tersedia fasilitas untuk kegiatan online, seperti sekarang. Keputusan untuk meninggalkan Jakarta dan segala kesenangannya diambil karena ia ingin serius mengembangkan sekolahnya demi mewujudkan cita-cita mencerdaskan anak-anak di kampung halamannya. Di samping itu, ia ingin merawat kedua orangtuanya yang sudah semakin tua.

Setelah menetap di Tihulale, Iren lebih leluasa melakukan hal itu. Selain memberi pelatihan, Iren pun mendorong para gurunya mengikuti berbagai kegiatan peningkatan kompetensi guru PAUD. Ia sendiri rajin mengikuti berbagai kegiatan. Ia sadar, tinggal di desa kecil apalagi di daerah 3T bisa membuatnya tertinggal. Ia harus selalu meng-upgrade dirinya. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Tahun 2018 ia terpilih sebagai GTK mitra provinsi Maluku. 

Selama 3 tahun ia belajar melakukan supervisi reflektif kolaboratif dan mengimbaskannya kepada 13 PAUD di kabupaten Seram Bagian Barat. Hingga kini ia terus menerapkan ketrampilan yang dimilikinya. Setiap hari setelah jam pembelajaran selesai, ia dan guru-guru lain akan melakukan refleksi diri. Dengan demikian setiap orang bisa menilai sendiri apa yang telah dilakukannya hari itu. Apa kendala yang ia dapat, apa yang harus dibenahi. Refleksi diri itu dilanjutkan dengan persiapan bersama untuk pembelajaran besok hari.

Iren sadar betul bahwa guru PAUD harus kreatif dan inovatif, dan sesuai dengan zamannya. Apalagi guru PAUD di daerah 3T yang memiliki banyak keterbatasan. Fasilitas pendidikan yang kurang memadai seringkali dijadikan alasan. Tapi Iren tidak mau dikalahkan oleh keadaan. Ia mencari solusi bagaimana menciptakan pembelajaran yang menarik untuk mencapai tujuan PAUD, yakni mengembangkan potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia memilih model pembelajaran berbasis alam dan kearifan lokal. Ia tak rela anak-anak tercabut dari budayanya. Melupakan kearifan lokal dan mengabaikan sumber daya alam yang tersedia. Ia membawa anak belajar di alam dan menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar. Ia pun melibatkan orangtua untuk mengajar melalui apa yang disebutnya “kelas orangtua mengajar”. 

Orangtua diundang ke sekolah atau dikunjungi di tempat kerjanya, seperti kebun atau tempat membuat kopra, lalu anak diajak untuk melakukan wawancara agar dapat mengetahui berbagai hal tentang “sang guru”. Cara ini dinilainya dapat membantu literasi anak. Selain itu efektif untuk memperkenalkan anak pada beragam pekerjaan di sekitarnya, dan menimbulkan pengenalan serta penghargaan anak pada pekerjaan orangtuanya. 

Di lain kesempatan ia membawa anak-anak ke pantai. Belajar sambil bermain di sana. Atau ke tempat pengolahan sagu, melihat proses membuat sagu, makanan khas orang Maluku. Anak-anak pun diajak mencari ulat sagu, makanan dengan protein tinggi yang akrab bagi masyarakat Maluku. Cara sederhana memperkenalkan anak pada situasi konkret di mana ia hidup. Apa yang dilakukannya membuat Iren menerima penghargaan Askrindo PAUD Institute (APIA) sebagai juara tiga guru heroik pada tahun 2021. Buah dari keberhasilan itu, ia mengirim salah seorang guru untuk mengikuti diklat dasar yang dilaksanakan oleh Askrindo di Jakarta dan mempersiapkan 2 orang guru untuk mengikuti Askrindo PAUD Institute Award di tahun berikutnya. Tidak tanggung-tanggung, kedua guru itu masuk nominasi (10 besar) guru Heroik dan satu di antaranya berhasil meraih juara tiga.

Kreatifitasnya kembali teruji saat mengikuti seleksi kepala sekolah penggerak, di akhir tahun 2021 lalu. Ia menuturkan, jadwal seleksi dari pusat diterimanya saat sedang menunggui Ibunya yang dirawat di salah satu RS di kota Ambon. Salah satu tahapan yang harus diikuti dalam seleksi itu adalah simulasi mengajar dan wawancara dengan asesor. Ia harus mempersiapkan diri, menyusun rencana pembelajarannya dalam keadaan yang “tidak baik-baik saja”. Ia sempat pasrah melihat tanggal simulasi dan wawancara. Pasalnya, ia tidak tahu kapan sang Ibu bisa pulang ke rumah. Tapi ia tidak mau menyerah. “Saya berpikir, jika ini yang Tuhan beri, Ia pasti buka jalan”, katanya sambil tersenyum. Keyakinannya terjawab. Sehari menjelang tahapan yang dilakukan secara online itu, sang Ibu diperbolehkan pulang ke rumah. Perjalanan dari kota Ambon ke kampungnya hampir setengah hari. Tidak hanya perjalanan darat. Mereka harus menyeberangi laut menggunakan kapal ferry yang menghubungkan kedua pulau. Tiba di rumah, hari sudah mulai gelap. Lelah. Tetapi ia harus menyediakan alat peraga untuk simulasi besok pagi. Tema pembelajaran yang ia siapkan adalah tentang binatang ayam. Karena keluarganya memelihara beberapa ekor ayam, ia pun memilih seekor ayam yang baik untuk dijadikan alat peraga. Sebelum merebahkan tubuhnya yang penat, ia mengurung ayam itu dalam timbil, kurungan ayam yang terbuat dari anyaman bambu. 

Pagi harinya, ia bangun dengan penuh semangat. Setengah jam sebelum zoom meeting dimulai, ia telah siap. Tapi, betapa terkejutnya Iren. Ketika membuka timbil, ia tak menemukan ayamnya. Ia menjadi panik dan bertanya pada seisi rumah. Rupanya “alat peraga” itu telah dilepas oleh suaminya. Sang suami tidak mengetahui untuk apa ayam itu dikurung. Karena sudah pagi dan saatnya ayam-ayam mencari makan, maka ia pun melepas ayam itu dari kurungan. Pada menit-menit kritis Iren harus mengubah alat peraga. Sudah hampir pukul 8 pagi, ayam-ayam tak lagi ada di halaman rumahnya. 

Tak mau frustrasi dengan ayam yang telah bebas itu, ia pun dengan sigap menyiapkan kalender bekas, menempelkan potongan-potongan kertas di atasnya menyerupai saku, dan menggambar telur ayam. Saat ia telah tersambung di zoom meeting, tiba-tiba seekor ayam berjalan ke arahnya. Rupanya sang suami berusaha menebus kekeliruannya. Menemukan kembali ayam yang telah lepas. Plong. 

Sepuluh menit simulasi berjalan dengan baik. Iren berhasil menghipnosis para asesor dengan ayamnya. “Mereka hanya diam terpaku memandang saya setelah beberapa menit saya menyelesaikan simulasi saya. Hingga saya menyapa mereka dan mengatakan bahwa saya sudah selesai. Mereka tergagap menjawab saya“, ceritanya sambil tertawa. Iren pun lulus seleksi menjadi kepala sekolah penggerak dan PAUD yang dipimpinnya menjadi sekolah penggerak. “Begitulah kalau menjadi guru PAUD“, lanjutnya. Harus punya banyak ide dan kreatifitas. Tidak terpaku pada satu model pembelajaran. Tidak bergantung pada apa yang ada atau disediakan.

Ketangguhannya menghadapi berbagai tantangan dan mencari solusi juga nampak saat pandemi covid-19 melanda Indonesia sejak tahun 2020. Pandemi ini menyebabkan PAUD Pelangi Asih di Jakarta harus ditutup. Pembelajaran online dirasa tak efektif bagi PAUD. Anak maupun guru kesulitan menjalani proses pembelajaran ini. Tapi di sisi lain, kondisi ini memberi peluang besar bagi para guru untuk mengembangkan kompetensi mereka. Berbagai kegiatan dapat diikuti dengan biaya yang jauh lebih murah, karena dilakukan secara online.  Memang, ada kendala. 

Jaringan internet di daerah 3T seringkali mengalami kendala. Ikut-ikutan 3t juga: ter-lambat, terbatas, tersendat. Tapi mereka pantang menyerah. Iren cukup bahagia ketika mendapati guru-guru yang berjuang “mengejar“ sinyal demi mengikuti kegiatan. Ia sendiri punya pengalaman yang sama. Ketika mengikuti kegiatan secara online dan bertugas presentasi, jaringan internet tiba-tiba hilang karena cuaca buruk. 

Ditambah lagi baterei HP sekarat karena listrik padam sejak semalam. Hal yang biasa terjadi di daerahnya. Di saat-saat kritis seperti itu Ia harus bergegas ke pantai atau bahkan ke desa sebelah, tempat jaringan internet lebih stabil. Untuk mengisi baterai HP, mesin mobil terus dihidupkan. Lega rasanya ketika kegiatan itu berakhir dengan baik. 

Pengalaman-pengalaman seperti itu sudah menjadi hal yang biasa. “beginilah kondisinya”, ujarnya berusaha maklum. Ia melanjutkan, “kami berada di daerah 3T. Keadaannya jauh berbeda dengan di daerah non 3T. Kami tidak ingin ketinggalan. Maka kami harus mengikuti berbagai kegiatan dan meningkatkan kompetensi.“ (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun