Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Sore-sore Enaknya Menyantap Midal

25 Januari 2014   19:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit sore itu diselimuti awan kelabu. Kabut putih tampak menutupi puncak Gunung Lokon. Udara dingin pegunungan terasasejuk di badan. Saya, Ine dan Bobby turun dari Daihatsu Xenia putih yang dikemudikan Johny.

Sebelum turun, masih dalam mobil, Ine bilang “Sore-sore makan Midal enak nih” Lalu saya langsung jawab, “Boleh.boleh.boleh. Mau cari makan di mana?” tanya saya. Lalu Ine bilang, “John, di warung sebelah rumah ngana neh” ujar Ine kepada sang sopir.

[caption id="attachment_308209" align="alignnone" width="600" caption="Midal Makin Sadap Jika Ditambah Kecap dan Rica Rowa"][/caption]

Kami berempat masuk ke warung sederhana di pojok jalan Pariwisata, Tomohon. Setelah duduk di atas kursi plastik, Ine lalu pesan kepada Tanta yang sejak tadi menyambut kami. “Tanta kita pesan Midal tiga. Satu lagi tanpa mie” pesan Ine kepada Tanta pemilik warung. Lalu Tanta godek (gemuk) itu balik kanan menuju dapur. Di meja lain, duduk empat remaja putri sedang menikmati mie cakalang, midal dan tinutuan dengan lahapnya.

Di luar warung, gerimis kecil turun dari langit. Cuaca seperti ini sudah biasa karena posisi Tomohon berada antara 900-1200 m di atas permukaan laut. Gunung Lokon dan Gunung Mahawu seperti memeluk kota Tomohon sehingga setiap sore dan malam tiba, tak heran di perkampungan itu hawanya dingin sejuk.

“Marjo makan” ajak Bobby setelah pesanan tiba di meja. Serentak kami pun memandang Midal dan Tinutuan masing-masing. Agar terasa sedap, saya tambahkan rica rowa, sambal yang terbuat dari ikan rowa dicampur nike (ikan kecil-kecil). Sedikit kecap, saya campurkan juga. Saya lihat teman-teman saya yang memang asli Tomohon juga melakukan hal yang sama. Tentu sesuai dengan ukurannya masing-masing. Rica rowa menjadi campuran yang banyak disukai karena pedasnya.

[caption id="attachment_308211" align="alignnone" width="600" caption="Ini lho Wujud Midal"]

13906530562023084177
13906530562023084177
[/caption]

Sambil menikmati Midal, saya tanya kepada mereka“Ngoni tahu, sejarah Midal?” Ine pun menjawab pertanyaan saya. Diceritakan bahwa Midal sebenarnya varian dari Tinutuan atau bubur Manado. Dengan menambah Tinutuan dengan mie, jadilah Midal.

“Menurut Opa-Opa kita, Tinutuan sudah ada sejak jaman Belanda. Kata Opa, Tinutuan dimakan di kebun dan makannya rame-reme beralaskan daun pisang. Bukan di piring seperti sekarang. Bahan utama Tinutuan, kata Opa saya, dari konga yaitu tepung milu (jagung) paling halus, tapi bukan beras jagung. Lalu untuk jadi Tinutuan, konga dimasak dengan campuran daun pepaya, ubi ketela dipotong-potong kecil lalu ditambah ujung ketimun Jepang dan Sambiki (labu)” cerita Ine dengan semangatnya sambil mengenang masa kecilnya. Katanya ia sering diajak Opa pergi ke kebun dan kemudian makan Tinutuan di kebun.

[caption id="attachment_308438" align="alignnone" width="600" caption="Aneka Sayuran Untuk Bubur Manado"]

13907494142071310125
13907494142071310125
[/caption]

Sambil mendengarkan cerita itu tak terasa Midal saya sudah habis. Perut pun tak lagi keroncongan dan badan terasa hangat. Pedasnya rica rowa masih menggoyang lidah. Bobby menyodorkan segelas air putih kepada saya setelah melihat wajah saya memerah seperti kepiting rebus karena pedasnya rica.

Untuk empat porsi kami bayar Rp. 28.000,- tanpa tambahan meski dijual juga pisang goreng. Air putih gratis dan sudah tersedia di setiap meja dengan gelasnya. Hampir di semua warung di Tomohon menyediakan air putih secara gratis. Kecuali kalau pesan teh gula atau kopi hitam ya harus bayar.

[caption id="attachment_308440" align="alignnone" width="600" caption="Bahan Sambal: Dabu-dabu atau Rica Rowa"]

13907494991559496917
13907494991559496917
[/caption]

Johny sudah menghidupkan Xenia dan siap mengantar kami ke pusat kota Tomohon. Dalam perjalanan ke pusat kota,saya sebagai pedatang dari Jawa, masih penasaran dengan Midal yang saya santap tadi. Betapa tidak. Tunutuan dan Midal sudah menjadi makanan yang merakyat. Tak hanya itu saja, tinutuan sudah menjadi menu keseharian dan sering disajikan saat istirahat sekolah dan sore hari jelang makan malam tiba. Banyak warung-warung di lorong-lorong kampung menjual Tinutuan. Biasanya warung itu juga menawarkan mie cakalang atau mie bak. Popularitas Tinutuan saya rasa sejajar dengan warung-warung bakso kalau di Jawa.

“Sejak saya SD hingga sekarang ada warung Tinutuan yang masih bertahan hingga sekarang. Warung itu berada di Kamasi sebelah Barat pusat kota. Depe rasa sejak dulu tetap enak” kisah Bobby mengenang masa kecilnya.

[caption id="attachment_308214" align="alignnone" width="600" caption="Di Warung, Satu Porsi 7 Ribu"]

13906534192017723310
13906534192017723310
[/caption]

Tinutuan memang sudah menjadi makanan populer masyarakat Minahasa (orang Manado). Saking populernya Tinutuan, kota Manado, di jaman Walikota Jimmy Rimba, mengeluarkan Perda untuk menetapkan Manado sebaga kota Tinutuan. Jika anda berwisata ke Manado, jangan lupa mampir ke jalan Wakeke untuk mencoba kuliner Tinutuan ini. Sepanjang jalan Wakeke, banyak rumah makan berjualan bubur Manado (Tinutuan).

Kisah tentang Midal dan Tinutuan tadi masih dilanjutkan di mobil sebelum sampai di pusat kota. Secara adat, Tinutuan disajikan saat tuan rumah menggelar pesta perkawinan. “Sebagai syarat bahwa perkawinan ini dilaksanakan secara adat Minahasa di tanah Toar Lumimuut” cerita Ine, istri Bobby. Tak hanya menjadi pelengkap adat perkawinan tetapi ketika berkumpul bersama sanak saudara, seperti Mapalus (kerja sama) dalam menyiapkan acara kedukaan, bersih desa, acara ulang tahun, bubur Manado menjadi hidangan penghangat badan dan rasa kebersamaan. Torang semua basaudara.

“Berbeda pada jaman Opa saya, bahan utama Tinutuan adalah bubur sambiki (labu kuning) dan tak lagi pakai tepung milu halus seperti dulu dan depe rasa (dia punya rasa) juga lebih lezat apalagi sayuran yang dipakai lebih banyak seperti kangkung, kedi, ubi talas, daun ubi ketela” cerita Ine dengan semangatnya. Oh ya setelah masak dan ditaruh di piring, biasanya ditabur potongan tahu agar rasanya makin nendang.

[caption id="attachment_308212" align="alignnone" width="600" caption="Perkedel Nike, Enak juga Disantap Bersama Midal"]

1390653123560226929
1390653123560226929
[/caption]

Bagi orang Jawa, bubur Manado sejauh mata memandang, tak begitu menarik tampilannya. “Klentrek-klentrek dan banyak sayurannya” batin saya. Tapi kalau sudah menyentuh lidah, wah susah deh menceritakan karena saking enaknya he he he.

Midal dan Tinutuan adalah saudara kembar. Sama halnya dengan sejarah dan tradisi adalah sepasang kekasih yang naik ke pelaminan dan kemudian menghasilkan kuliner-kuliner rakyat yang dilestarikan dari opa hingga cucu- cicitnya. Itulah Midal dan Tinutuan sebagai makanan khas di Manado, Tomohon, Minahasa dan sekitarnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun